Opini
Penulis : Achmad Mubarak Feni,
– Mantan Ketua Lembaga Pengelolah Latihan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Konawe periode 2010-2011.
– Pengurus Daerah Korps Alumni HMI Kab. Konawe
Buntut Protes dilayangkan oleh kalangan Aktivis dan Masyarakat Sulawesi Tenggara (Sultra) terkait fenomena hukum atas pemanggilan klarifikasi dan pemeriksaan 3 warga desa Sukarela Jaya Kecamatan Wawonii Tenggara Kabupaten Konawe Kepulauan oleh Penyidik Polda Sulawesi Tenggara pada Tanggal 29 Juli 2019.
Diketahui, pemanggilan tersebut berdasarkan Laporan pihak perusahaan pertambangan Nikel PT. Gema Kreasi Perdana dengan tuduhan dugaan melanggar Pasal 162 UU Mineral dan Batu Bara No. 4 Tahun 2009 yakni setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada Pasal 136 ayat (2) UU No 4 tahun 2009 dipidana dengan ancaman kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Menyorot kejadian itu, penulis berpendapat bahwa warga tidak melakukan tindakan yang sengja merintangi kegiatan usaha pertambangan. Sehingga memurut pandangan penulis, tindakan pelaporan yang dilakukan PT. Gema Kreasi Perdana terhadap 3 warga Konawe Kepulauan itu keliru.
Berdasarkan penglihatan penulis bahwa sejatinya warga tersebut sedang berjuang mempertahankan hak nya sebagai warga negara Indonesia sebagai pemilik hak atas tanah yang bersinggungan dengan Wilayah konsesi pertambangan PT GKP.
Yang pasti menurut penulis, ada ketidak wajaran yang terjadi terkait kegiatan usaha pertambangan tersebut. Seharusnya pihak perusahaanlah yang berkewajiban menyelesaikan hal tersebut sesuai amanah Undang-Undang Tentang Kewajiban perusahaan pemegang IUP atau IUPK Operasi Produksi pasal 30 huruf (y) dimana perusahaan berkewajiban menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
Sebelumnya juga dijelaskan pada Pasal 28 dikala terjadi kesalahan dalam Kegiatan Usaha Pertambangan yang berdampak Negatif langsung kepada masyarakat maka Pemilik IUP atau IUPK harus menyelesaikannya, bukan dengan cara seperti ini.
Penulis menduga, perusahaan menggunakan “tangan-tangan hukum” dengan cara-cara kriminalisasi warga, dan ini bentuk tindakan semena-mena perusahaan serta hal itu melawan ketentuan hukum yang ada.
Lebih lanjut menurut penulis, PT. Gema Kreasi Perdana belum layak atau belum dibenarkan memakai Pasal 162 junto Pasal 136 ayat (2) UU Minerba No 4 Tahun 2009 karena Pemegang IUP atau IUPK dalam pasal tersebut adalah perusahaan yang telah memenuhi syarat-syarat sesuai pasal 136 tersebut. Dikarenakan pemenuhan syarat-syarat yg dimaksud, PT GKP diduga belum teruji kelayakannya sebagai pemegang IUP Operasi Produksi dan mengaku CNC.
Kemarin sangat jelas apa yang dikatakan salah satu Pimpinan KPK RI, La Ode M Syarif bahwa dari 77 pemegang IUP di Sulawesi Tenggara hanya 2 perusahaan yang tercatat CNC atau Clear n Clean, Yaitu PT. Antam tbk dan PT. VDNI. Pertanyaannya, apakah pihak PT GKP Konkep berani melaporkan Pimpinan KPK RI itu jika omongan La Ode Syarif itu dinilai berbohong oleh pihak perusahaan.
Apalagi jika kita harus berbicara terkait pemenuhan syarat-syarat tersebut sesuai Pasal 26 UU Minerba tentang kewajiban yang meliputi 4 dimensi pokok perkara kegiatan pertambangan yaitu Administrasi,Tekhnik, Lingkungan, dan Finansial yang dituangkan dalam Pasal 23 PP 23 Tahun 2010. Hal ini pun menurut pendapat penulis masih meragukan akan kebenarannya dan semua itu teruwujud sebagai komitmen penerapan kaidah pertambangan yang baik.
Kemudian yang membuat penulis sedikit “geram” atas tindakan PT. GKP ini kenapa tidak berfikir terlebih dahulu sebelum melapor bahwa Insiden 3 warga ini merupakan bagian dari proses pemenuhan syarat-syarat pemegang IUP tapi tiba-tiba hendak memakai Pasal 162 UU Minerba No 4 Tahun 2009 untuk Mempidanakan 3 warga tersebut, Ye iiii Ngeri-nya mi…
Terlebih berdasarkan sumber lainnya oleh pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Rudy Satriyo Mukantardjo menilai UU No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) tak layak dipakai untuk memidanakan orang.
Jadi sekali lagi penulis berpendapat bahwa yang dimaksud Pasal 162 junto pasal 136 ayat (2) UU Minerba No 4 Tahun 2009 adalah pihak perusahaan yang telah memenuhi syarat-syarat wajib bagi pelaku Usaha Pertambangan di Republik Indonesia tanpa terkecuali.
Kemudian penulis pun tentunya berharap kepada pihak Penyidik Polda Sultra untuk lebih jeli menanggapi laporan-laporan pihak perusahaan pada hal-hal yang berkaitan dengan upaya kriminalisai warga Negara Indonesia dan tentunya agar lebih mempertegas fungsi Pengayoman Kepolisian terhadap setiap warga negara Republik Indonesia.
Penulis sangat meyakini aparat Kepolisian dan seluruh aparat penegak hukum di Sultra ini masih lebih mengutamakan kepentingan Rakyat.
Terkait peristiwa ini, penulis pun tak luput memberi saran kepada Pemerintah Daerah bersama-sama DPRD Kabupaten Konawe Kepulauan untuk menunjukan keseriusannya dalam melindungi warganya melalui Instrument Regulasi Perbub atau pun Perda terkait Perlindungan Hak atas Tanah.
Jangan terkesan hanya jadi penonton atas peristiwa ini apalagi diduga belum ada tindakan konkrit dari PEMDA Konkep atas hal yang menimpa masyarakatnya ini dikarena kan peristiwa yang seperti ini bisa saja terulang dikemudian hari.
Jadi maksud penulis terkait masalah ini adalah bentuk keprihatinan sesama warga negara apalagi Konawe Kepulauan ini merupakan anak Kabupaten Konawe. Sehingga melihat kondisi ini penulis kecewa atas tindakan PT. GKP terhadap warga Konawe Kepulauan dan kami akan terus memantau perkembangan terkait hal-hal lain yang belum penulis ungkapkan dan berpotensi timbul akibat kegiatan usaha pertambangan PT. Gema Kreasi Perdana di pulau Wawonii itu.(**)