SUARASULTRA.COM, KONAWE – Saat ini, Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Pro Jokowi (Projo) Kabupaten Konawe tengah merampung seluruh alat bukti, sebagai materi gugatan atas Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2017 tentang pembetukan Kecamatan Anggotoa di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Langkah hukum yang diambil oleh organisasi besutan Presiden Joko Widodo ini sebagai bukti konsistensi terhadap apa yang telah diucapkan Kabid Hukum Projo Konawe, Abiding Slamet, SH di hadapan sejumlah media pada Jum’at (23/8/2019).
Saat itu Projo menyebut bakal melayangkan gugatan terhadap produk hukum yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta telah disahkan oleh Pemda dalam hal ini Bupati Konawe, Kery Saiful Konggoasa.
Ketua DPC Projo Konawe, Irvan Umar Tjong melalui Kabid Hukum Abiding Slamet, SH mengatakan, semula Projo berencana menggugat dua peraturan daerah, yaitu Perda nomor 1 tahun 2017 tentang pembetukan kecamatan Anggotoa dan Perda nomor 79 tahun 2017 tentang pendefinitifan 8 desa di kecamatan Anggotoa dan 2 desa di kecamatan Wawotobi.
Namun kata Advokat muda ini, setelah dilakukan kajian hukum, Projo simpulkan bahwa hanya satu materi gugatan yang akan dibawa ke Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia di Jakarta untuk diuji, yakni
Perda Nomor 1 tahun 2017 tentang pembentukan kecamatan Anggotoa.
“Kenapa hanya Perda nomor 1? Karena hanya peraturan ini yang bukti fisiknya ada, sudah diparipurnakan oleh DPRD. Sementara Perda nomor 79 itu tidak ada alias bodong,” kata Abiding kepada SUARASULTRA.COM, Rabu, (28/8/2019).
Sebelum mengambil kesimpulan terhadap apa saja yang akan menjadi materi gugatan nantinya, pihak Projo lebih dulu berusaha mencari fisik dari payung hukum pendefinitifan 10 desa itu.
Tetapi dari hasil penelusuran, tidak satu lembaga baik DPRD maupun Bagian Hukum Setda Konawe yang mengaku menyimpan bahkan pernah membuat atau membahas Perda yang dimaksud.
Menurut Abiding, meski tidak menjadikan Perda nomor 79 sebagai obyek gugatan sebagai mana yang telah dilansir sebelumnya, namun Perda itu tetap akan masuk dalam bagian dari gugatan.
Abiding menuturkan, dasar Projo menggugat Perda nomor 1 itu adalah tidak terpenuhinya syarat administrasi pembentukan dan atau pemekaran wilayah Kecamatan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah.
“Kalau Perda 79 itu tidak ada, maka otomatis 8 desa di kecamatan Anggotoa juga tidak sah. Dengan begitu syarat pembentukan kecamatan Anggotoa juga tidak terpenuhi karena yang ada tinggal 6 desa saja. Sementara syarat minimal pembentukan kecamatan baru, itu harus ada 10 desa definitif,”tutur Abiding.
Ia menambahkan, jika Projo berhasil memenangkan gugatan tersebut, maka bisa dipastikan Kecamatan Anggotoa akan dikembalikan ke kecamatan Induk yakni kecamatan Wawotobi.
“Segala administrasi pemerintahan yang berkaitan dengan kecamatan Anggotoa juga gugur demi hukum,” tutupnya.
Sebelumnya, Projo menemukan 10 desa yang didefinitifkan menggunakan Peraturan Daerah (Perda) nomor 79 tahun 2017. Setelah dilakukan penelusuran, Perda tersebut tidak memiliki nomor registrasi di Bagian Hukum Sekertariat Daerah (Setda) Konawe.
Kepala Bagian (Kabag) Hukum Setda Konawe, Badaruddin, SH tidak mengakui produk hukum tersebut. Bahkan dirinya kaget saat dikonfirmasi terkait Perda Nomor 79 tahun 2017.
“Kenapa terlalu besar itu nomor ? Saya tidak tau itu kenapa terlalu besar itu terus terang,” kata Badaruddin saat dihubungi via telpon selulernya, Jum’at (23/8/2019).
Menurut Kabag Hukum Setda Konawe ini, sepengetahuan dia selama menjabat sebagai Kabag Hukum tidak pernah ada nomor Perda yang melampauhi angka 34 setiap tahunnya.
“Masa mau ada dalam satu tahun produk hukum 79 nomor Perda, paling tinggimi itu 33 atau 34 dalam satu tahun, itu sudah termasuk penetapan APBD. Itumi paling tertinggi dan sudah gabungan Perda Inisiatif dewan dan usulan eksekutif,” terangnya.
Menanggapi rencana Projo Konawe untuk menguji Perda tersebut ke MA, Ketua Badan Kehormatan DPRD Konawe, H.A. Gunal Sambari menyebut itu hak organisasi besutan Presiden Jokowi. Namun menurut dia, untuk pembatalan Perda tersebut itu domain dari Departemen Dalam Negeri (Depdagri) Republik Indonesia.
“Jadi terlalu jauh kalau menguji ke MA terlalu jauh, ke Depdagri saja, Depdagri saja cukup. Artinya, kalau itu dianggap sah dilanjutkan, kalau tidak berarti dibatalkan,” ujar pria yang kerap juga dipanggil Opa Kumis.
Laporan : Redaksi