SUARASULTRA.COM, KONAWE – Masyarakat di empat desa, yakni Desa Mokaleleo, Unggulino, Laloonaha, dan Desa Wawosanggula, Kecamatan Puriala, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) secara tegas menolak menjual lahan milik mereka.
Melalui petisi, masyarakat di empat desa itu meminta kepada pemerintah desa dan Pemerintah Kabupaten Konawe untuk segera menghentikan proses penjualan lahan ke perusahaan industri pertanian yang akan berinvestasi di wilayah itu.
Pasalnya, proses penjualan lahan yang dilakukan oleh oknum warga yang diketahui bernama Rela, menggunakan data kepemilikan lahan yang diduga bodong alias tidak sesuai dengan data kepemilikan lahan yang sebenarnya.
Wakil Ketua II Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa (Hippma) Desa Mokaleleo, Unggulino, Laloonaha, dan Wawosanggula (Mulwa), Aprianto menyebut, berdasarkan data pemilik lahan yang didapatkan, luas lahan masyarakat yang rencananya akan dijual ke PT Agri Cassava Makmur (ACM) itu seluas 360 hektar.
Dari jumlah tersebut, terdapat 196 orang pemilik lahan seperti yang tertera pada 255 Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dibuat oleh Rela dan ditandatangani oleh Kepala Desa Unggulino, Yabas.
“Berdasarkan rekapan data pemilik yang kami peroleh, atas nama Rela ini memiliki luas lahan sebanyak 31 hektar. Itu yang menggunakan nama pribadi saja, belum lagi SKT yang pakai nama istri dan anaknya. Kalau ditotal sekitar 42 hektar luasnya,” kata Rian sapaan akrab Aprianto, Selasa (15/10/2019).
Jumlah luas lahan yang dimiliki Rela tersebut berbanding terbalik dengan hasil klarifikasi dengan tokoh masyarakat yang juga kerabat dekatnya, yaitu lahan peninggalan nenek moyang mereka luasnya tidak sampai 10 hektar.
Selain itu lanjut Rian, terdapat beberapa nama lain yang juga memiliki luas lahan yang tidak rasional. Belakangan diketahui jika nama-nama pemilik yang mengklaim memiliki lahan puluhan hektar itu merupakan cukong alias pengurus proses penjualan lahan warga ke pihak perusahaan.
“Ada juga nama yang dimasukan sebagai pemilik tetapi tidak memiliki lahan di wilayah yang akan dijual ini, bahkan ada yang sudah lama meninggal tetapi masih dimasukan sebagai pemilik,” ujarnya.
Rian menyebut, dengan proses pembuatan SKT yang tidak sesuai itu, dapat menimbulkan konflik sosial ke depannya. Sebab kata dia, lahan yang dijual oleh beberapa oknum masyarakat tidak mendapatkan persetujuan dari pemilik lahan yang sebenarnya.
Menurut Rian, hal tersebut dapat menimbulkan gejolak yang berpotensi konflik di tengah-tengah masyarakat.
” Jika tidak segera dihentikan maka konflik sosial bisa saja terjadi kapan pun,” sebut Rian.
Sementara itu, Kepala Desa Unggulino, Yabas mengakui telah menandatangani SKT sebagai syarat administrasi proses penjualan lahan tersebut. Namun, Yabas tidak mengetahui jika terdapat oknum-oknum masyarakat yang mengklaim selaku pemilik lahan hingga puluhan hektar.
“Karena waktu saya tandatangani SKT itu saya tidak periksa satu-satu. Sebab sebelumnya saya sudah verifikasi data yang ada dan ternyata mereka selipkan lagi,” ujar Yabas.
Menurut Kades Unggulino itu, dirinya baru sadar setelah adanya kelompok masyarakat dan juga Hippma Mulwa, yang memprotes kebijakannya yang dilengkapi dengan data pemilik lahan.
“Setelah ada data yang diberikan itu, maka saya langsung membuat surat kuasa kepada Aprianto untuk menarik seluruh SKT dan juga dokumen pendukung yang ada di perusahaan melalui notaris,”jelasnya.
Yabas mengatakan, selaku pemerintah desa, dirinya tidak akan pernah mengintervensi masyarakat yang ingin menjual lahan maupun sebaliknya. Sebab hal itu merupakan kewenangan pemilik lahan, dengan syarat masyarakat yang akan menjual merupakan pemilik yang sebenarnya (Pemilik Sah).
Di lain pihak, penanggung jawab dari PT ACM, Trisno mengaku tidak ingin terlibat dalam kisruh intenal masyarakat saat ini. Karena menurutnya, itu bukanlah masalah yang bersumber dari perusahaan.
“Itu internal masyakat. Kami hanya akan membayar lahan yang adminstrasinya jelas, dan kami juga akan pastikan pemilik SKT ini adalah benar-benar pemilik lahan,” ujar Trisno saat dihubungi via telepon selulernya.
Diketahui, saat ini proses jual beli lahan masih dalam tahap verifikasi SKT yang telah diserahkan. Rencananya, sebelum proses pembayaran, pihak perusahaan akan turun ke lokasi untuk mengecek kebenaran lokasi yang akan dijual.
“Terkait dengan data pemilik yang sudah meninggal atau mengklaim memiliki lahan puluhan hektar nanti kita cek kebenarannya. Kami akan bayar lahan itu kalau sudah tidak ada masalah,” ujarnya.
Berdasarkan pantauan awak media di lapangan, masyarakat pemilik lahan yang menolak proses penjualan lahan ke pihak perusahaan telah mengumpulkan petisi yang berisikan penolakan.
Dalam petisi itu, masyarakat secara tegas menolak perusahaan masuk membeli lahan ke wilayah itu dengan alasan berpotensi konflik, mengancam ekosistem, dan juga lingkungan.
Tidak hanya petisi, kampanye penolakan juga dilakukan dengan cara penyebaran baliho berisikan pernyataan sikap dan komitmen bersama pemerintah desa di beberapa sudut di empat desa tersebut.
Laporan: Sukardi Muhtar