SUARASULTRA.COM | KONUT – Rukun Keluarga Moronene (RKM) bersama 47 paguyuban yang bermukim di Bumi Anoa Sulawesi Tenggara (Sultra) turut memeriahkan hari jadi Kabupaten Konawe Utara (Konut) yang ke – 15 tahun 2022 melalui karnaval budaya nusantara, Senin 3 Januari 2022.
Karnaval budaya nusantara ini digelar di Wanggudu Kecamatan Asera tepatnya di halaman upacara Pemda Konawe Utara
Diketahui, Kabupaten Konawe Utara memperingati hari jadi setiap tanggal 2 Januari. Konut resmi menjadi daerah otonom pada tanggal 2 Januari tahun 2007. Konut merupakan daerah pemekaran Kabupaten Konawe.
Berdasarkan pantauan awak media ini, dari 48 paguyuban yang mengikuti karnaval budaya, sebagai suku tertua di Sultra, Moronene menempati urutan pertama pada kegiatan tersebut. Pada Karnaval Budaya Nusantara ini, Rukun Keluarga Moronene dipimpin langsung oleh Hajja Sitti Saleha, SE, M.Si Kadis Prindag Sultra selaku Ketua Kerukunan.
Saat melintas di depan tribun, panitia sempat membacakan awal mula suku Moronene. Suku Moronene adalah suku tertua yang mendiami Jazirah Sultra. Suku ini kebanyakan mendiami wilayah Kabupaten Bombana dan Suku Moronene adalah salah satu suku besar yang terdapat di Sulawesi Tenggara.
Para pakar antropologi berkeyakinan bahwa orang Moronene ini adalah penghuni pertama wilayah ini (Sultra). Mereka tergolong suku bangsa Proto Malayan (Melayu Tua) yang datang dari Hindia, pada zaman prasejarah atau zaman batu muda, kira-kira 2 ribu tahun sebelum Masehi.
Namun sekitar abad 18, mereka tergusur oleh semakin berkembangnya penduduk atau suku lain yang juga menghuni wilayah ini.
Istilah “Moronene” berasal dari kata “moro” yang berarti “serupa” dan “nene” yang berarti “pohon resam”. Pohon Resam adalah sejenis tanaman paku (pakis), yang banyak ditemukan di daerah ini. Kulit batangnya bisa dijadikan tali, sedangkan daunnya adalah pembungkus kue lemper.
Resam hidup subur di daerah lembah atau pinggiran sungai yang mengandung banyak air. Daerah pemukiman suku Moronene biasanya di daerah yang banyak kawasan sumber air.
Suku Moronene adalah bangsa nomaden, yang selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, hingga akhirnya mereka menetap di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.
Kampung pemukiman suku Moronene ini tersebar di beberapa kabupaten di Sulawesi Tenggara termasuk Kota Kendari, mereka mengungsi dan bermigrasi akibat gangguan keamanan sekitar tahun 1952-1953.
Dalam pergaulan sehari-hari dijumpai bahwa pada umumnya masyarakat suku Moronene itu peramah, muda menghormati yang tua, suka menjalin persahabatan.
Beberapa istilah sopan santunnya antara lain Ampadea. berlaku sopan, contoh bila orang tua sedang berbicara, anak-anak tidak boleh ikut campur atau tidak ikut berbicara.
Setiap berkunjung ke Bombana, ada beberapa tempat menarik yang perlu dikunjungi. Salah satunya desa adat Hukaea Laea Kecamatan Lantari Jaya. Di desa ini, warganya masih memegang teguh adat istiadat.
Sesuatu yang unik di desa itu adalah sistem kekerabatan. Para wanita di Desa Hukaea ini diperbolehkan hanya bisa menikah dengan pria yang tinggal di lingkungan desa mereka. Jika diketahui ada wanita yang menikah dengan pria dari luar Desa Adat Hukaea Laea, maka tidak diizinkan tinggal di kampung adat tersebut sehingga harus keluar kampung.
Namun anehnya, itu cuma berlaku bagi wanita. Sedangkan pria diberikan kebebasan untuk mencari wanita, baik yang berasal dari Desa Adat Hukaea Laea maupun yang berasal dari luar desa.
Laporan: Sukardi Muhtar