Pilkada Serentak 2024 dan Ancaman Politik Uang

  • Share
Sukardi Muhtar

Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Sukardi Muhtar

Opini – Pada pemilihan umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD dan DPRD tahun 2024 lalu, masih ditemukan politik uang (Money Politic) meski itu tidak bisa dibuktikan secara hukum. Sehingga, hal ini tentunya akan berdampak pada pesta demokrasi lima tahunan di daerah.

Ancaman politik uang pada pemilihan kepala daerah yang akan digelar secara serentak pada 27 November 2024 mendatang tentu sangat sulit untuk dihindari. Istilah “ada uang ada suara” sudah menjadi rahasia umum di masyarakat.

Dengan kondisi ini, ke depan dapat kita prediksi bahwa hanya pasangan calon yang punya “isi tas” yang bakal terpilih untuk memimpin daerah setempat untuk lima tahun ke depannya.

Bagaimana pesta demokrasi itu dapat melahirkan pemimpin yang berkualitas, visioner dan amanah jika salah satu syarat untuk menduduki “kursi empuk” masih tergantung dengan “isi tas”.

Ini bukan berarti kita mengucilkan pasangan calon yang memiliki kecerdasan intelektual dan juga memiliki kemampuan finansial. Diakui atau tidak, bahwa kecerdasan intelektual figur tidak menjamin dapat meraih suara signifikan jika tidak dibarengi dengan sokongan finansial.

Namun, kita juga mesti buka mata bahwa banyak figur yang memiliki kemampuan yang hampir paripurna tetapi tidak bisa bersaing karena persoalan ekonomi yang tidak mendukung.

Karena kita tahu bersama, meski figurnya bagus, popularitas tinggi, elektabilitas tinggi tetapi tidak disokong dengan “isi tas” maka potensi untuk bersaing dan meraih kemenangan sangatlah kecil. Begitu pula sebaliknya, pasangan calon yang hanya mengandalkan “isi tas” tidak menjamin meraih kemenangan. Sehingga, “Isi Tas dan Elektabilitas” harus sejalan jika ingin meraih kemenangan.

Dengan fakta tersebut, tidak heran jika banyak kepala daerah dan mantan kepala daerah serta Anggota DPR RI, DPD RI dan DPRD yang harus berurusan dengan penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK). Hal ini dikarenakan tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan calon atau paslon untuk memperoleh jabatan yang diinginkan.

Meski ada sanksi pidana bagi paslon atau calon yang melakukan politik uang sebagaimana diatur dalam UU No.10 Tahun 2016 Pasal 187A dengan ancaman hukuman 3 tahun penjara. Bahkan sanksi pidana tersebut juga berlaku kepada masyarakat yang menerima, tetapi itu tidak membuat paslon Kepala Daerah dan calon legislatif tidak melakukan “serangan fajar”. Bahkan diduga semakin menjadi-jadi.

Selain itu, ada juga sanksi diskualifikasi bagi calon yang ditemukan (jika ditemukan) melakukan politik uang secara terstruktur, sistematis dan masif. Namun lagi – lagi tidak menyurutkan niat calon bersama timnya untuk melakukan hal tersebut.

Adakah yang salah dari itu semua?

Dimungkinkan itu terjadi karena masih lemahnya fungsi pengawasan dari pengawas pemilu serta minimnya partisipasi aktif dari masyarakat. Selain itu, dalam UU No.10 tahun 2016 tentang sanksi pidana dan sanksi diskualifikasi itu hanya berlaku ketika calon atau tim sukses yang memiliki SK dari paslon atau ketua tim sukses/ pemenangan ditemukan melakukan praktik politik uang.

Sementara yang menjadi eksekutor di lapangan adalah orang-orang pilihan yang tidak terdaftar dalam struktur tim pemenangan. Sehingga ketika ditemukan di lapangan tidak dapat diberlakukan sanksi diskualifikasi tersebut. Dengan alasan eksekutor itu tidak terdaftar dalam struktur tim dan tidak ada hubungan secara langsung dengan paslon. Argumentasi yang terbangun adalah mereka membantu calonnya secara sukarela dan itu menjadi alasan klasik yang dibenarkan.

Oleh karenanya, penulis berharap seyogyanya semua pihak harus turun tangan untuk menyikapi hal tersebut. Karena ini akan menjadi “penyakit” di lingkungan masyarakat kita. Penulis meyakini masyarakat saat ini sudah cerdas dalam memilih pemimpinnya. Sehingga ke depan paslon yang dipilih adalah putra – putri terbaik daerah.

Menurut penulis, untuk mencegah terjadinya politik uang pada Pilkada serentak 2024, diperlukan adanya keseriusan semua pihak untuk bersama sama mencegahnya. Sehingga ke depan pemberi dan penerima tidak akan lagi pernah berpikir untuk melakukan hal itu. Dan pasangan calon yang mengandalkan “Isi Tas” untuk meraih kemenangan bisa mendapatkan efek jera.

Menurut penulis, politik uang terjadi pada pemilu dan pilkada disebabkan oleh tingkat kejenuhan masyarakat terhadap janji – janji politik para calon yang dianggap hanya sebatas obat telinga.

Karena, setelah yang bersangkutan (calon – pasangan calon) duduk di kursi empuk, konstituen tidak lagi mendapat perhatian dari calonnya. Sang “calon jadi ” tersebut disibukkan dengan tugas-tugas negara dan kepentingan kelompoknya.

Pada akhirnya, rakyat hanya menjadi penonton setia yang tak dapat apa-apa. Sehingga muncul anggapan di kalangan masyarakat bahwa lebih baik mendapat 100 ribu hari ini dari pada menunggu janji politik yang tidak pasti selama 5 tahun ke depannya. Karena siapapun yang mendapat amanah itu tidak akan berpengaruh terhadap kehidupan rumah tangga mereka. Tanpa kerja keras dan cucuran keringat sendiri, dapur meraka tidak akan pernah mengepul.

Dengan demikian, sudah saatnya paradigma berpikir itu harus segera diubah dengan memberikan pemahaman /sosialisasi kepada masyarakat tentang dampak pidana yang bakal diterima oleh mereka yang ditemukan memberi uang kepada masyarakat untuk mempengaruhi atau mengubah pilihan politiknya.

Diharapkan semua pihak untuk bersama sama dengan komitmen yang sama untuk mencegah terjadinya politik uang tersebut. Termasuk kepada semua pasangan calon diharapkan punya komitmen yang sama untuk tidak melakukan money politik dalam mencapai tujuan politiknya. Dan ketika terpilih, harus merealisasikan janji – janji politiknya sehingga kepercayaan publik kembali pulih.

Semoga pilkada serentak 2024 ini tidak ada lagi yang namanya praktik politik uang (Money Politik). Sehingga masyarakat dapat memilih pemimpin yang jujur dan amanah berdasarkan hati nurani. Masyarakat menyalurkan hak politiknya, memberikan suaranya berdasarkan Visi Misi pasangan calon.

Jika hal ini dapat diwujudkan, maka bisa dipastikan hasil pilkada serentak 27 November 2024 mendatang akan melahirkan pemimpin – pemimpin hebat. Dan Pilkada serentak 2024 ini menjadi Pilkada yang jujur adil dan bermartabat. AYO para penyelenggara pemilu (KPU dan BAWASLU) belum terlambat, kalian pasti bisa mewujudkan hal ini.***

Penulis: Sukardi Muhtar

Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
banner 120x600
  • Share
error: Content is protected !!