


SUARASULTRA.COM | KENDARI – Isu ketidakadilan hukum kembali mencuat di Sulawesi Tenggara menyusul kabar “diskon” hukuman bagi Andi Ardiansyah, terpidana korupsi tambang sekaligus keponakan Gubernur Sultra, Andi Sumangerukka.
Pria yang juga adik dari Ketua DPD Gerindra Sultra, Andi Ady Aksar, ini diduga mendapat perlakuan istimewa berupa program asimilasi meski baru satu tahun menjalani vonis penjara.
Andi Ardiansyah sebelumnya dijatuhi hukuman 4 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Kendari pada 6 Mei 2024 atas keterlibatannya dalam skandal korupsi izin tambang di wilayah konsesi PT Antam, Blok Mandiodo, Kabupaten Konawe Utara.
Dia terbukti memanfaatkan dokumen RKAB PT Kabaena Kromit Pratama (KKP), perusahaan yang ia pimpin untuk mengalirkan hasil tambang milik PT Lawu Agung Mining (LAM), dan menimbulkan kerugian negara sebesar Rp45 miliar. Selain hukuman badan, ia juga dijatuhi denda Rp500 juta.
Namun publik dikejutkan oleh informasi bahwa Ardiansyah telah mendapat program asimilasi yang mengizinkannya keluar dari penjara untuk bekerja, meski belum sampai separuh masa hukumannya. Asimilasi ini ditengarai sebagai bentuk “karpet merah” bagi narapidana elite yang memiliki kedekatan kekuasaan.
Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pemasyarakatan (Ditjenpas) Sultra, Sulardi, membenarkan pemberian asimilasi tersebut. Ia menyatakan bahwa program tersebut diberikan sesuai dengan Permenkumham Nomor 7 Tahun 2022 tentang pemberian asimilasi bagi narapidana yang telah menjalani setengah masa hukuman.
“Kalau sudah memenuhi syarat, mereka berhak. Dalam kasus Andi Ardiansyah, surat keputusan asimilasinya sudah diterbitkan,” ujar Sulardi saat dikonfirmasi, Kamis (29/5/2025).
Meski demikian, ia menegaskan bahwa Andi Ardiansyah belum bekerja di luar rutan karena masih menunggu pihak ketiga untuk merekrutnya sebagai tenaga kerja.
Menariknya, kasus serupa juga terjadi pada politikus Gerindra, La Ode Gomberto, terpidana korupsi Dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) bersama eks Bupati Muna, LM Rusman Emba. Keduanya dikabarkan memperoleh kemudahan serupa dalam sistem pemasyarakatan, menambah panjang daftar pertanyaan publik soal keadilan hukum di Indonesia.
Program asimilasi memungkinkan narapidana bekerja di luar penjara dengan pembagian upah: 50 persen untuk napi, 35 persen untuk pembinaan, dan 15 persen untuk negara, semua dihitung berdasarkan upah minimum yang berlaku. Namun dalam praktiknya, program ini dinilai sering “fleksibel” terhadap narapidana berprofil tinggi.
Pemberian asimilasi kepada kerabat Gubernur Sultra ini sontak menimbulkan kecurigaan akan adanya intervensi kekuasaan dan diskriminasi dalam penegakan hukum, terutama terhadap pelaku korupsi yang memiliki koneksi politik kuat.
“Apakah hukum masih berlaku setara? Ataukah keistimewaan diberikan hanya kepada mereka yang dekat dengan kekuasaan?” demikian suara yang mengemuka dari berbagai elemen masyarakat sipil di Kendari.
Publik kini menanti sikap transparan dari Kemenkumham dan aparat penegak hukum lainnya, sekaligus menuntut pengawasan ketat terhadap penerapan program asimilasi agar tidak menjadi celah perlindungan bagi koruptor elite.
Laporan: Redaksi





