


Kasus Korupsi Nikel Rp135,8 Miliar: Tan Lie Pin Berulang Kali Mangkir, Ada Apa dengan Ketegasan Hukum?
SUARASULTRA.COM | JAKARTA – Kasus dugaan korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Antam di Blok Mandiodo, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, terus menjadi sorotan tajam publik. Di tengah proses persidangan yang menyeret delapan terdakwa, nama Tan Lie Pin, Komisaris PT Lawu Agung Mining (LAM), justru menjadi tanda tanya besar.
Diduga kuat memiliki peran sentral dalam skandal yang merugikan negara hingga Rp135,8 miliar, Tan Lie Pin seolah “kebal” hukum dengan berulang kali mangkir dari panggilan sidang.
Desakan publik agar aparat penegak hukum menindaklanjuti keterlibatan Tan Lie Pin semakin menguat. Fakta persidangan mengungkap bahwa Tan Lie Pin diduga memerintahkan dua office boy PT LAM untuk membuka rekening bank yang kemudian digunakan untuk menampung dan menyamarkan dana hasil penjualan nikel ilegal senilai fantastis tersebut. Ini bukan lagi sekadar dugaan, melainkan fakta yang terungkap di muka persidangan.
Namun, yang lebih memprihatinkan adalah sikap Tan Lie Pin yang berulang kali mangkir dari persidangan. Pada 14 Mei 2025, ia kembali absen dari sidang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan terdakwa Windu Aji Sutanto. Ini adalah ketidakhadirannya yang ketiga sebagai saksi, meskipun Majelis Hakim pada 28 April 2025 telah memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menghadirkan paksa.
Puncaknya, pada sidang lanjutan TPPU dengan terdakwa Glenn Ario Sudarto dan Windu Aji Sutanto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (26/5/2025), Tan Lie Pin kembali tidak hadir. Ini menandai mangkirnya ia untuk kali keempat sebagai saksi kunci dalam perkara Pid-sus-TPK/2025/PN Jkt-Pst tersebut.
Majelis Hakim pun kembali menegaskan perintah agar JPU menghadirkan Tan Lie Pin secara paksa.
Menguji Marwah Hukum dan Kepercayaan Publik
Ketidakhadiran Tan Lie Pin yang berulang kali ini memunculkan pertanyaan krusial, mengapa seseorang yang diduga kuat terlibat dalam kasus korupsi dengan kerugian negara ratusan miliar rupiah dapat mengabaikan panggilan sidang tanpa konsekuensi yang jelas?
Ini bukan hanya tentang ketidakpatuhan individu, tetapi lebih jauh, ini mempertaruhkan marwah sistem peradilan dan mengikis kepercayaan publik terhadap integritas institusi penegak hukum, baik Kejaksaan maupun Kehakiman.
Penting untuk diingat, menurut Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juncto Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010, saksi adalah setiap orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
Keterangan saksi juga merupakan alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP. Dengan demikian, pengabaian kewajiban sebagai saksi adalah hal yang tidak dapat ditoleransi.
Bahkan, menolak hadir sebagai saksi tanpa alasan yang sah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, baik menurut KUHP yang berlaku saat ini, maupun dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang akan berlaku penuh pada 2026.
Maka dari itu, publik saat ini menantikan sikap tegas aparat penegak hukum dalam menghadirkan Tan Lie Pin. Apakah supremasi hukum akan benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu, atau justru kembali tunduk pada kekuatan modal dan kepentingan politik?
Jawabannya akan menjadi penentu arah penegakan hukum di Indonesia ke depan. Akankah ketidakhadiran Tan Lie Pin berlanjut, ataukah penegak hukum akhirnya menunjukkan taringnya?***
Editor: Sukardi Muhtar





