


Walhi Seret 29 Perusahaan ke Kejagung: Dugaan Kejahatan Lingkungan Mengancam, 5 Tambang di Sultra Disorot
SUARASULTRA.COM | KENDARI – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengguncang Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) dengan melaporkan 29 korporasi yang diduga kuat terlibat dalam praktik korupsi dan kejahatan lingkungan berskala besar.
Lima di antara perusahaan tersebut beroperasi di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), khususnya di sektor pertambangan nikel sektor yang belakangan mengalami lonjakan investasi seiring meningkatnya permintaan global terhadap bahan baku baterai kendaraan listrik.
“Laporan ini mencakup korporasi yang beroperasi di berbagai provinsi, mulai dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, Jawa Timur, hingga Jawa Tengah,” ungkap Uli Arta Siagaan, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Eksekutif Nasional, saat menyerahkan laporan resmi ke Kejagung, Kamis (3/7/2025).
Walhi menyebut perusahaan-perusahaan yang dilaporkan bergerak di sektor strategis seperti tambang nikel, pertambangan emas, perkebunan kelapa sawit, galian tambang, pembangkit listrik, hingga pengembangan real estate. Aktivitas mereka diduga merugikan negara dan lingkungan secara masif.
Dalam laporan tersebut, Walhi memperkirakan potensi kerugian negara mencapai Rp200 triliun, yang meliputi aktivitas penambangan ilegal, perusakan hutan, serta pencemaran wilayah perairan dan daratan.
Di Sultra, lima perusahaan tambang nikel yang disorot dinilai telah melakukan ekspansi tanpa kontrol yang memadai, merusak kawasan hutan lindung, mencemari sungai dan wilayah pesisir, serta menggusur ruang hidup masyarakat adat dan lokal.
Lima perusahaan tersebut yaitu PT Wijaya Inti Nusantara (WIN), PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS), PT Gema Kreasi Perdana (GKP),PT Tambang Bumi Sulawesi (TBM), dan PT Trias Agung.
Kelima perusahaan tambang nikel tersebut masing-masing beroperasi di Desa Torobulu Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep)
“Di balik gemerlap narasi transisi energi hijau, kami menemukan wajah kelam dari ekspansi pertambangan, hutan dirusak, sungai tercemar, masyarakat kehilangan tanah dan sumber penghidupan,” tegas Walhi dalam pernyataan resminya.
Walhi juga menyoroti lemahnya pengawasan dan dugaan praktik operasi tanpa izin lingkungan yang sah. Menurut mereka, janji energi terbarukan justru berpotensi menciptakan bencana ekologis baru jika tidak dibarengi dengan tata kelola yang adil dan transparan.
“Janji transisi energi hijau justru berujung pada bencana ekologis. Banyak perusahaan tidak memiliki izin lingkungan lengkap, merusak ekosistem, dan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal,” ujar Uli Arta Siagaan.
Walhi mendesak Kejagung untuk segera menindaklanjuti laporan ini dengan penyelidikan menyeluruh dan penegakan hukum yang tidak tebang pilih. Mereka juga mengingatkan Kejagung akan peran strategisnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Ini bukan sekadar laporan, melainkan ujian nyata bagi penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Kejagung harus bertindak, bukan hanya menerima,” tegas Uli.
Sebagai bagian dari langkah strategis, Walhi juga menggandeng Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta Kepolisian RI (Polri) untuk memperkuat proses investigasi dan penindakan hukum terhadap dugaan pelanggaran tersebut.
“Kami memerlukan sinergi seluruh lembaga untuk menghentikan laju kerusakan lingkungan yang makin mengkhawatirkan,” pungkasnya.
Editor: Redaksi





