
PT Mulia Makmur Perkasa Diduga Lakukan Tambang Ilegal, Nama Wabup Kolaka Terseret
SUARASULTRA.COM | KOLUT – Perusahaan tambang nikel PT Mulia Makmur Perkasa (MMP) yang beroperasi di Desa Patikala, Kecamatan Tolala, Kabupaten Kolaka Utara (Kolut), kini tengah menjadi sorotan publik.
Perusahaan ini mengantongi Izin Usaha Produksi Operasi (IUP OP) seluas 2.450 hektare berdasarkan SK No. 540/156 Tahun 2009. Berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM, Direktur Utama PT MMP tercatat H. Tasman, sementara posisi Komisaris diisi Husmaluddin, yang diduga merupakan Wakil Bupati Kolaka.
Keterlibatan pejabat daerah dalam struktur perusahaan swasta menuai kritik. Pasalnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan tegas melarang kepala daerah maupun wakilnya merangkap jabatan yang berorientasi pada keuntungan pribadi, termasuk sebagai direksi maupun komisaris perusahaan.
Larangan rangkap jabatan juga diatur dalam berbagai regulasi lain, di antaranya UU Nomor 22 Tahun 1999 serta UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yang bertujuan mencegah konflik kepentingan sekaligus menjaga netralitas pejabat publik dalam menjalankan amanah negara.
Kasus ini kian mendapat perhatian lantaran sektor pertambangan memiliki dampak besar terhadap lingkungan, perekonomian, hingga kehidupan sosial masyarakat.
Dugaan Pelanggaran Hukum
Selain dugaan rangkap jabatan, Forum Mahasiswa Sultra (FMS) turut mengungkap sederet pelanggaran serius yang diduga dilakukan PT MMP.
Ketua FMS, Abdi Aditya, menyebut perusahaan tersebut terindikasi melakukan penjualan ore nikel secara ilegal. Ia mengungkapkan, hasil investigasi lapangan dan penelusuran dokumen perizinan di portal Kementerian Perhubungan menunjukkan PT MMP tidak memiliki izin Terminal Khusus (Tersus) maupun Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS).
“Meski tanpa izin pelabuhan, aktivitas pemuatan dan pengangkutan ore nikel tetap berlangsung. Ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan dugaan tindak pidana yang merugikan negara dan merusak lingkungan,” tegas Abdi.
Tak hanya itu, PT MMP juga diduga telah memproduksi serta mengapalkan ore nikel sebelum turunnya persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari Kementerian ESDM. Padahal, RKAB baru diterbitkan pada 16 April 2025 melalui surat No. T-581/MB.04/DJB.M/2025 yang ditandatangani Dirjen Minerba Tri Winarno.
Sesuai Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2023, setiap perusahaan dilarang beroperasi tanpa RKAB. Dengan demikian, ore nikel yang diproduksi dan dikapalkan PT MMP sebelum tanggal tersebut patut diduga berasal dari aktivitas ilegal.
“Produksi sebelum RKAB bukan hanya pelanggaran administratif, tapi juga berpotensi masuk ranah pidana pertambangan,” tambah Abdi.
Desakan ke Aparat dan Kementerian
Atas temuan tersebut, FMS menyatakan tengah menyiapkan dokumen dan bukti untuk melaporkan PT MMP ke Mabes Polri. Mereka juga mendesak Kementerian ESDM segera mencabut persetujuan RKAB PT MMP sebagai bentuk sanksi administratif.
“Kami mendesak agar Kementerian ESDM tidak gegabah menerbitkan RKAB untuk perusahaan yang belum memenuhi syarat dasar, seperti kepemilikan izin Tersus dan TUKS. Jika dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum pertambangan,” ujarnya.
Menurut Abdi, kasus PT MMP hanyalah potret dari buramnya tata kelola pertambangan di Sultra dalam satu dekade terakhir. Alih-alih menjadi penggerak ekonomi, praktik tambang nikel justru kerap memicu konflik sosial, kerusakan lingkungan, serta kebocoran pendapatan negara akibat lemahnya pengawasan.
“Sudah cukup Sultra dijadikan ladang eksploitasi tanpa etika. Kasus PT MMP harus menjadi catatan serius agar Kementerian ESDM tidak lagi memberi ruang bagi perusahaan yang abai terhadap aturan,” pungkasnya.***
Editor: Sukardi Muhtar