

Memahami Kritik SP3 dalam Bingkai Anatomi Perkara
Oleh : Fajar Meronda ( Pandangan Seorang Saksi )
OPINI– Sebagai saksi yang mengikuti secara utuh anatomi kasus tambang nikel yang melibatkan Aswad Sulaiman, saya memandang kritik dari berbagai elemen masyarakat sipil antara lain MAKI, PUKAT UGM, ICW, mantan pimpinan KPK, mantan penyidik KPK, serta anggota DPR RI sebagai bagian penting dari kontrol publik dalam negara demokrasi.
Kritik tersebut sah, konstitusional, dan mencerminkan kepedulian terhadap agenda besar pemberantasan korupsi sektor sumber daya alam.
Namun, kritik yang sehat perlu dibangun di atas pemahaman menyeluruh terhadap struktur perkara, bukan semata pada besarnya nilai dugaan kerugian negara atau simbolik nama lembaga penegak hukum.
Dari perspektif saksi, persoalan utama dalam kasus Dugaan Suap & gratifikasi dalam kasus penerbitan izin Usaha Pertambangan Di Konawe Utara bukan terletak pada ada atau tidaknya dugaan pelanggaran Hukum, melainkan pada ketiadaan alat bukti yang cukup untuk membawanya ke tahap penuntutan.
Kritik SP3 sebagai bentuk kemunduran, kelemahan dan kompromi penegakan hukum cenderung mengabaikan fakta penting bahwa penyidikan telah berlangsung lama dan tidak menghasilkan bukti kunci yang dipersyaratkan hukum pidana,sudah kurang lebih 18 Tahun (2007-2025).
Dugaan suap, misalnya, tidak pernah didukung bukti aliran dana, saksi transaksi, atau pengakuan. Dalam praktik peradilan, kondisi ini membuat dakwaan sangat rentan gugur.
Memaksakan perkara ke persidangan dalam situasi demikian bukan hanya berisiko kekalahan, tetapi juga dapat menciptakan preseden buruk: hukum dijalankan untuk memenuhi ekspektasi publik, bukan berdasarkan pembuktian.
Dugaan penerbitan izin yang dianggap melawan hukum pun menghadapi persoalan serupa. IUP yang dipersoalkan ternyata sudah pernah diuji melalui jalur peradilan. PT Antam menggugat izin milik PT Harita yang diterbitkan oleh Bupati Konawe Utara saat itu.
Pada tingkat pertama PT Antam memang menang, namun pada tingkat banding dan kasasi, PT Harita justru dinyatakan menang. Putusan kasasi ini menjadi fakta hukum penting bahwa izin tersebut tidak bisa serta-merta disebut melawan hukum.
Dugaan kerugian negara Rp2,7 triliun lebih banyak berdiri di atas asumsi. Dari 8 perusahaan dan mengantongi 30 IUP, hanya satu perusahaan yang benar-benar melakukan aktivitas penambangan. Dengan kondisi tersebut, kerugian negara lebih tepat disebut sebagai potensi, bukan kerugian nyata yang terukur.
Kritik dari masyarakat sipil juga sering menempatkan SP3 seolah-olah meniadakan seluruh fakta awal. Padahal, SP3 tidak menghapus peristiwa, tidak pula memutihkan dugaan pelanggaran hukum, SP3 hanya menegaskan bahwa standar pembuktian pidana tidak terpenuhi. Ini adalah perbedaan mendasar yang kerap luput dalam diskursus publik.
Demikian pula kritik dari sebagian anggota DPR. Dari perspektif saksi, kritik tersebut cenderung bernuansa politis dan normatif, tanpa disertai pembacaan mendalam terhadap berkas perkara, putusan pengadilan terkait IUP, serta perkembangan pembuktian selama penyidikan. Padahal, hukum pidana bekerja pada fakta dan bukti, bukan pada asumsi atau tekanan representasi politik.
Hal yang juga perlu dipahami, KPK saat ini tidak sedang menilai ulang secara subjektif keputusan pimpinan sebelumnya, melainkan merespons realitas pembuktian yang tidak berubah secara signifikan meskipun waktu telah berjalan Panjang , Dalam konteks ini, SP3 justru mencerminkan konsistensi terhadap asas kepastian hukum dan keadilan, bukan pelemahan pemberantasan korupsi.
Meski demikian, kritik tersebut diatas tetap memiliki nilai strategis sebagai pengingat agar KPK:
1. Lebih berhati-hati dalam menetapkan tersangka sejak awal,
2. Lebih transparan menjelaskan dasar hukum SP3,
3. Memperkuat desain penyidikan kasus-kasus sumber daya alam ke depan.
Sebagai saksi, saya melihat polemik ini bukan sebagai pertarungan antara KPK dan masyarakat sipil, melainkan sebagai cermin belum bertemunya bahasa hukum dengan bahasa publik. Ketika anatomi perkara tidak dijelaskan secara utuh, ruang tafsir akan selalu diisi oleh kecurigaan.
Pada akhirnya, pemberantasan korupsi tidak hanya menuntut keberanian membuka perkara, tetapi juga kejujuran untuk mengaku ketika bukti tidak cukup. Kritik publik penting, tetapi keadilan hanya dapat ditegakkan jika setiap penilaian berdiri di atas pemahaman menyeluruh terhadap fakta, bukti, dan batas-batas hukum pidana itu sendiri.***

















