

Sawit Diberi Karpet Merah, Petani Padi Dipinggirkan: Warga di Kawasan TNRAW Gelar Unjuk Rasa
SUARASULTRA.COM | KONSEL – Kebijakan pengelolaan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) kembali menuai kritik tajam dari masyarakat. Petani di Desa Lanowulu dan Desa Tatangge, Kecamatan Tinanggea, Konawe Selatan, secara tegas menolak perluasan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan taman nasional yang dinilai sarat ketimpangan dan ketidakadilan.
Para petani menilai negara dan pemerintah daerah justru memberikan karpet merah bagi ekspansi sawit, sementara petani padi dipersulit mengakses lahan untuk sekadar mempertahankan hidup. Kondisi ini dinilai bertolak belakang dengan semangat ketahanan pangan dan keadilan sosial.
Penolakan warga menguat setelah terungkap fakta bahwa sejak 2024 telah terjadi perluasan kebun sawit, pembukaan jalan dan jembatan, hingga kebun nilam yang masuk ke kawasan konservasi TNRAW. Aktivitas tersebut ironisnya berlangsung di wilayah yang secara hukum dilindungi ketat dan seharusnya steril dari kegiatan budidaya komersial.
Lahan yang dirambah berada di kawasan penghubung dua kabupaten, yakni Desa Tinabite (Kabupaten Bombana) dan Desa Awiu (Kabupaten Kolaka Timur). Wilayah ini memiliki fungsi strategis sebagai koridor ekologis taman nasional.
Di sisi lain, petani padi di sekitar kawasan justru kehilangan ruang hidup. Ketua kelompok petani, Kamaruddin, menilai pemerintah gagal membaca realitas kebutuhan masyarakat di lapangan.
Menurutnya, kebutuhan lahan sawah jauh lebih mendesak dibandingkan ekspansi sawit yang tidak berdampak langsung terhadap ketahanan pangan warga.
“Setiap tahun jumlah penduduk bertambah. Di Desa Lanowulu dan Tatangge saja, sekitar 100 kepala keluarga baru tidak memiliki lahan garapan. Tapi yang diprioritaskan justru sawit, bukan sawah,” ujar Kamaruddin, Rabu (17/12/2025).
Ia menyebut kebijakan tersebut sebagai bentuk ketidakadilan struktural. Negara dinilai tegas dan kaku terhadap petani kecil, namun longgar bahkan kompromistis terhadap kepentingan pemodal.
“Kami hanya petani padi. Kami minta lahan untuk makan dan menyambung hidup. Tapi izin sawah dipersulit. Sementara sawit bisa masuk dan membuka lahan di kawasan taman nasional,” tegasnya.
Petani juga mempertanyakan ketimpangan dan ketertutupan pola perizinan. Mereka menyoroti adanya praktik penguasaan lahan yang tidak merata, di mana sebagian pihak bisa mengelola 2 hingga 3 hektare lahan di kawasan taman nasional, sementara petani lainnya sama sekali tidak mendapat akses.
Pihak Balai TNRAW melalui Kepala Seksi SPTN Wilayah II, Aris, S.Hut., mengakui adanya pembukaan jalan di dalam kawasan taman nasional dan menyebut pelakunya telah diproses hukum. Namun, penjelasan tersebut dinilai belum menjawab persoalan utama, yakni mengapa sawit dapat eksis di kawasan konservasi, sementara sawah dianggap sebagai ancaman.
Aris beralasan bahwa pembukaan sawah melanggar aturan karena kawasan tersebut merupakan habitat satwa prioritas seperti anoa, maleo, rusa, kakatua jambul kuning, serta berbagai jenis burung air. Ia juga menegaskan savana alang-alang merupakan bagian penting ekosistem yang tidak boleh dialihfungsikan.
Namun, alasan konservasi tersebut dinilai timpang ketika dikaitkan dengan keberadaan sawit. Aris menyebut adanya mekanisme khusus melalui Peraturan Menteri LHK Nomor 14 Tahun 2023, yang memungkinkan kerja sama dan kemitraan sawit di kawasan taman nasional.
“Untuk sawit, ada batas satu daur tanam selama 15 tahun. Setelah itu, lahan dikembalikan ke negara,” jelasnya.
Pernyataan tersebut justru memunculkan tanda tanya besar di tengah masyarakat: jika sawah dianggap merusak ekosistem, mengapa sawit yang bersifat monokultur dan berdampak ekologis besar justru mendapatkan legitimasi hukum.
Data menunjukkan, sekitar 20.000 hektare kawasan terbuka (open area) di TNRAW saat ini berada dalam pengawasan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH). Total luas TNRAW sendiri mencapai 105.154 hektare. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa perambahan telah berlangsung masif dan lama, namun penegakan hukum dinilai belum menyentuh semua pihak secara adil.
Ketimpangan kebijakan tersebut juga menuai kritik dari kalangan mahasiswa. Sekretaris HMI Konawe Selatan, Muhammad Erit Prasetya, menilai kebijakan pengelolaan TNRAW dan sikap pemerintah daerah jauh dari prinsip keadilan ekologis dan sosial.
“Petani sawah hanya ingin hidup dan memenuhi kebutuhan pangan. Mereka tidak mengejar keuntungan besar. Tapi negara justru lebih ramah kepada sawit. Ini ironi kebijakan yang mengatasnamakan konservasi, tapi mengorbankan rakyat kecil,” tegasnya.
Hingga kini, petani di Desa Lanowulu dan Tatangge menuntut evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pengelolaan TNRAW, transparansi perizinan, serta keberpihakan nyata pada pertanian pangan, bukan sekadar jargon perlindungan lingkungan yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas.
Laporan: Tim
Editor: Redaksi

















