



SUARASULTRA.COM | JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) baru saja mengesahkan Undang – Undang (UU) Cipta Kerja. Bukannya mendapat apresiasi, keputusan dewan tersebut kini menimbulkan beragam polemik. Maraknya penolakan dari berbagai kalangan menandakan UU ini tidak berpihak pada rakyat.
Pekerja (buruh) menjadi mayoritas penolak UU ini. Kali ini buruh tidak sendiri, banyak dukungan dari Akademisi, Tokoh Agama, Aktivis bahkan Politisi termasuk Lumbung Informasi Rakyat (LIRA).
Bersuara membela kepentingan rakyat, Presiden Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Lumbung Informasi Rakyat ( LIRA ) Ollies Datau menyatakan keprihatinanya.
“Ini adalah bentuk kemunduran demokrasi, terlihat dari bagaimana mayoritas DPR tidak menimbang suara orang – orang yang diwakilinya. Dari 9 Fraksi hanya 2 Faksi yang menolak, Demokrat dan PKS,” tegas Ollies dalam rilis yang diterima Redaksi Suara Suara, Selasa (6/10/20200).
Ollies tidak habis pikir bagaimana bisa sebuah undang – undang yang memuat banyak pasal penting , dibuat dengan kecepatan tinggi di tengah pandemi, dan disahkan tiga hari lebih awal.
“Seakan kita dihadapkan dengan urgensi besar dalam UU ini, padahal tidak sepenting itu. Perut rakyat lebih penting , UU ini malah membuat rakyat kita para pekerja kehilangan banyak hak – haknya, yang bermuara pada potensi turunnya kesejahteraan hidup mereka,” jelas Ollies.
Meski sudah tak muda lagi, Ollies tetap aktif membela suara rakyat. Dia pun turut mengkritisi langkah yang terkesan terburu-buru dari Pemerintah bersama DPR RI tersebut.
“Penghapusan UMK akan membuat penggeneralisasian upah satu Provinsi dengan UMP, padahal satu daerah dengan daerah lainya berbeda kebutuhan biaya hidup. Selanjutnya poin di Pasal 61 berisi durasi kontrak pekerja tergantung dari pengusaha, hal ini bisa membuat pengusaha sesuka hati. Ini berpotensi membuat karyawan menjadi pekerja kontrak selamanya dan dipecat kapan saja, sadis,” bebernya.
Di tempat yang sama, Wakil Presiden LIRA Bidang Polhukam Andi Syafrani menegaskan bahwa aspek psikologis yang muncul dari UU ini tidak sekedar materinya, tapi momennya, di mana UU ini diproses dalam kondisi pembatasan pandemi.
“Demi UU ini, anggota DPR rela lembur saat banyak orang dilarang atau dibatasi kerja,” ujarnya.
Advokat ini mempertanyakan sikap pemerintah dan DPR RI yang seolah abai dengan kondisi dan tuntutan buruh selama ini.
“Ini paradoks yang dipertontonkan. Ini aspek moral yang menyakitkan. Kalau benar UU ini akan jadi obat masalah ekonomi karena pandemi, apakah UU ini juga jadi obat pandemi itu sendiri? Kalau tidak, terus apa relevansinya dikebut jika pandemi ini sendiri belum bisa teratasi?” tanyanya.
Andi menyampaikan, dengan banyaknya materi pasal ini, sangat mungkin ditemukan ketidaksinkronan dengan materi dari UU lain atau UU ini sendiri.
“Jangan sampai reaksi kelompok masyarakat terhadap UU ini justru jadi masalah baru terkait pandemi jika diekspresikan dengan demo atau aksi massa. Manfaat UU belum terasa, tapi efek reaksi negatifnya justru menambah persoalan negara,” pungkasnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjend) DPP LIRA Budi Siswanto menekankan bahwa ada banyak kecacatan dalam UU ini. Sehingga LIRA bersuara demi kepentingan buruh.
“Pasal 79 ayat 2 menyatakan durasi kerja enam hari dengan libur satu hari seminggu, sangat ambigu dan bisa dimanfaatkan pengusaha nakal memeras tenaga pekerja,” katanya.
Selanjutnya ayat 5 menghapuskan cuti panjang, di mana cuti tidak diatur dalam peraturan jelas tapi perjanjian. Posisi karyawan lemah dan bisa dimanfaatkan pemilik modal.
“Kemudian UU ini membuat tenaga kerja asing dipermudah bekerja di Indonesia, Pemerintah harusnya melindungi pekerja kita, agar pos nafkah untuk warga negara tidak di habisi oleh serbuan tenaga kerja asing.” tandasnya.
Pria yang juga Ketua Umum Forum Bersama Jakarta ini menyatakan UU ini membuat rakyat kita terjerat outsourcing seumur hidup dan banyak lagi kejanggalan lain di dalamnya.
Terakhir dalam pernyataan sikapnya DPP LIRA menyatakan, meminta Pemerintah untuk merevisi kembali UU tersebut, menghapuskan pasal – pasal tidak pro rakyat yang ada di dalamnya, dan menuntut hak – hak pekerja yang terhapuskan dalam UU tersebut dikembalikan.
“Pemerintah harus mendengarkan, mengkaji dan merealisasikan perubahan atau rakyat akan melawan,” tutup Budi.
Laporan: Redaksi





