


Tiga Warga Mandiodo Dipenjara karena Jalan Tambang, Keadilan Diuji di Tengah Kuasa Korporasi
SUARASULTRA.COM | KONUT – Di tengah hiruk-pikuk aktivitas tambang nikel di Desa Mandiodo, Kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara, tiga warga setempat harus mendekam di balik jeruji besi karena mempertahankan tanah warisan leluhur mereka yang dijadikan jalan hauling perusahaan tambang tanpa kompensasi.
Ketiganya, yakni Sahrir, Restu, dan Basman, divonis masing-masing 4, 3, dan 6 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Unaaha. Mereka dinyatakan bersalah dalam perkara yang bermula dari konflik lahan dengan PT Bumi Nikel Nusantara (PT BNN), perusahaan yang menggunakan lahan tersebut untuk aktivitas angkut hasil tambang (hauling).
Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) Ki Bagus Hadi Kusumo Muhammadiyah Sulawesi Tenggara mengecam keras putusan tersebut.
Direktur PKBH, La Ode Subroto, menilai kasus ini sebagai preseden buruk bagi perjuangan masyarakat kecil melawan korporasi besar.
“Kami sangat menyayangkan vonis ini. Ini mencerminkan lemahnya perlindungan hukum bagi warga yang membela hak atas tanahnya sendiri,” tegasnya.
Menurut investigasi PKBH, akar konflik bermula dari Surat Keputusan Bupati Konawe Utara Nomor 199 Tahun 2022 yang menetapkan jalan kabupaten sepanjang 12,46 kilometer untuk aktivitas hauling PT BNN. Namun, SK tersebut tidak merinci lebar jalan dan tidak disertai sosialisasi atau konsultasi publik dengan warga terdampak.
“Sebagian besar jalur hauling melewati tanah masyarakat yang telah dikuasai turun-temurun tanpa adanya pembebasan lahan atau ganti rugi. Ini jelas pelanggaran hak atas tanah,” ujar La Ode Subroto.
Meski telah dijatuhi vonis, Sahrir, Restu, dan Basman tidak menyerah. Melalui tim kuasa hukumnya, mereka mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara, berharap ada pertimbangan hukum yang lebih objektif dan adil.
Sementara itu, gugatan perdata warga Mandiodo terhadap PT BNN masih bergulir di Pengadilan Negeri Unaaha. Pada Rabu, 3 Juli 2025, majelis hakim menggelar sidang pemeriksaan setempat (descente) untuk melihat langsung objek sengketa yang menjadi jalan hauling.
“Kami berharap langkah ini membuka mata hati hakim agar perkara diputuskan dengan bijaksana dan berpihak pada keadilan,” tambah Subroto.
PKBH juga mendesak Pemerintah Kabupaten Konawe Utara untuk segera meninjau kembali SK Bupati Nomor 199 Tahun 2022.
“Pemerintah tidak boleh abai terhadap nasib rakyatnya. Investasi memang penting, tapi tidak boleh mengorbankan hak dasar warga,” tegasnya.
Kini, nasib tiga warga Mandiodo dan masa depan tanah leluhur mereka berada di tangan para hakim. Masyarakat menanti, apakah hukum akan berpihak pada keadilan, atau kembali tunduk pada kekuasaan modal.
Laporan: Redaksi





