

PK Kandaskan Harapan: Warga Konawe Terancam Tergusur di Tanah yang Dianggap Bukan Objek Sengketa
SUARASULTRA.COM | KONAWE – Nasib empat warga Kabupaten Konawe Asmawati, Aludin, Mahmuddin, dan Haryanti kian terjepit setelah Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) secara resmi menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas sengketa lahan yang melibatkan mereka dengan Basri, warga Kabupaten Konawe Selatan, yang menjadi pihak penggugat.
Padahal, sengketa tersebut pada awalnya sempat dimenangkan pihak tergugat. Pengadilan Negeri (PN) Unaaha sempat menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard atau NO) setelah hasil Peninjauan Setempat (PS) menyimpulkan bahwa objek sengketa yang diajukan tidak sesuai dengan gugatan.
Mengacu pada yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 81 K/Sip/1971 tanggal 11 Agustus 1971, disebutkan bahwa jika berdasarkan hasil pemeriksaan setempat letak, luas, dan batas-batas tanah berbeda dari yang diuraikan dalam surat gugatan, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (NO).
Namun hasil tersebut berubah ketika Basri mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Kendari. Dalam putusannya, pengadilan menyatakan Basri sebagai pemilik sah atas sebidang tanah berdasarkan Sertifikat Hak Milik Nomor 00040 Tahun 1996, yang semula beralamat di Desa Parauna, Kecamatan Unaaha, dan disebut telah berubah menjadi Kelurahan Tobeu akibat pemekaran wilayah.
Pernyataan tersebut dipertanyakan oleh pihak tergugat. Asmawati, tergugat pertama, menegaskan bahwa informasi pemekaran desa tersebut tidak sesuai dengan fakta administratif yang berlaku.
“Faktanya, tidak pernah ada pemekaran dari Desa Parauna ke Kelurahan Tobeu. Yang benar adalah pemekaran dari Kelurahan Tuoy ke Tobeu. Ini bisa dicek di data pemerintahan,” tegas Asmawati kepada wartawan, Selasa (8/7/2025).

Setelah gugatan penggugat dikabulkan di tingkat banding, tergugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun upaya itu kembali kandas. Langkah terakhir pun ditempuh melalui permohonan PK, dengan menyertakan 29 bukti baru atau novum yang menguatkan posisi tergugat bahwa objek gugatan berada di lokasi berbeda. Namun majelis hakim kembali menolak permohonan tersebut dengan dalil bahwa bukti atau novom merupakan hasil Copy – an yang diCopy.
“Semua novum yang kami ajukan tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim. Padahal itu menyangkut batas dan lokasi tanah yang jelas berbeda dan semua bukti asli yang kami scan bukan copyan sebagaimana yang disebutkan,” ujar Asmawati kecewa.
Ia juga mengungkapkan bahwa dalam proses hukum yang berjalan, dirinya sempat mendapat tekanan dari pihak yang tidak disebutkan identitasnya.
“Ada yang menghubungi saya dan meminta sejumlah uang. Tapi kami ini orang kecil, mana sanggup. Mungkin karena itu juga kami diperlakukan tidak adil,” ucapnya lirih.
Kini, eksekusi tinggal menunggu waktu. Asmawati dan warga lainnya yang tergugat berharap ada campur tangan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mengklarifikasi secara objektif batas koordinat dua sertifikat yang disengketakan.
“BPN harus turun tangan. Sebelum eksekusi, tolong adakan pengukuran ulang dan pastikan apakah objeknya benar sama atau tidak. Itu harapan terakhir kami,” pintanya.
Meski secara hukum jalan mereka nyaris tertutup, Asmawati mengaku masih menyimpan harapan terakhir bahwa keadilan masih mungkin berpihak kepada rakyat kecil.
“Semoga keajaiban itu ada. Kami yakin keadilan akan menemukan jalannya sendiri,” tutupnya dengan mata berkaca-kaca.
Laporan: Sukardi Muhtar



