


Sembilan Catatan Kritis Kuasa Hukum Hasto atas Vonis 3,5 Tahun: Ada Ancaman bagi Keadilan Hukum
SUARASULTRA.COM | JAKARTA – Kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Febri Diansyah, mengungkapkan sembilan catatan krusial terkait vonis tiga tahun enam bulan penjara yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat terhadap kliennya dalam kasus dugaan suap yang menyeret nama Harun Masiku. Febri menilai, putusan tersebut menyimpan berbagai persoalan fundamental yang berpotensi mencederai prinsip keadilan dan kepastian hukum.
“Kami mencatat setidaknya ada sembilan poin penting yang perlu menjadi perhatian dalam konteks penegakan hukum kita. Yang kedua, ini harus menjadi koreksi bersama agar tidak ada lagi korban berikutnya dalam proses peradilan yang tidak dilandasi bukti kuat,” ujar Febri kepada awak media, Jumat (25/7).
Salah satu poin yang diapresiasi Febri adalah sikap majelis hakim yang menegaskan bahwa pasal obstruction of justice (Pasal 21 UU Tipikor) merupakan delik materil, sehingga harus dibuktikan adanya kegagalan nyata dalam penyidikan akibat tindakan terdakwa.
“Jika Pasal 21 adalah delik materil, maka wajib dibuktikan bahwa penyidikan benar-benar gagal dilaksanakan. Ini menjadi poin krusial yang sejak awal kami tekankan,” jelas Febri.
Ia juga mengkritisi penerapan pasal tersebut terhadap Hasto yang disebut melakukan tindak pidana pada 8 Januari 2020, padahal perkara saat itu masih berada dalam tahap penyelidikan. Menurutnya, Pasal 21 tidak bisa diterapkan pada tahap tersebut.
Catatan penting lainnya adalah pengakuan majelis hakim bahwa terdapat pelanggaran terhadap prinsip due process of law dalam proses penyidikan. Febri menegaskan bahwa prinsip tersebut merupakan fondasi peradilan yang adil dan tidak boleh dikorbankan demi mengejar pembuktian semata.
“Untuk mencapai peradilan yang adil (fair trial), prinsip due process of law tidak bisa dikesampingkan hanya demi memburu kebenaran materil,” tegasnya.
Febri juga mempertanyakan dasar pertimbangan hakim dalam menilai adanya “bukti baru” berupa komunikasi WhatsApp antara Hasto dan Saeful Bahri yang menyebutkan “Pak Harun geser 8.50”. Bukti itu dijadikan alasan untuk mengabaikan dua putusan sebelumnya dalam perkara nomor 18 dan 28/Pid.Sus/TPK/2020.
“Saya tidak memahami bagaimana majelis hakim bisa menganggap hal itu sebagai bukti baru, padahal sudah termuat jelas dalam dua perkara sebelumnya,” ujarnya.
Ia menilai hal tersebut mencederai prinsip kepastian hukum dan membuka ruang ketidakselarasan yurisprudensi yang membahayakan konsistensi penegakan hukum di masa depan.
Febri juga mengkritik penafsiran hakim terhadap komunikasi antara staf DPP PDI Perjuangan yang dianggap seolah-olah mendapat persetujuan dari Hasto. Padahal, menurut keterangan Saeful Bahri dalam persidangan, skenario suap dilakukan tanpa perintah, arahan, ataupun laporan kepada Hasto.
“Bagaimana mungkin tindakan bawahan bisa langsung dianggap sebagai tanggung jawab atasan, tanpa adanya bukti persetujuan?” tanya Febri.
Ia pun menyoroti ketidakkonsistenan majelis hakim dalam menilai keterangan saksi Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah. Di satu sisi hakim menganggap mereka memberikan keterangan dalam tekanan, namun di sisi lain menggunakan sebagian keterangan tersebut untuk memperkuat dakwaan.
“Ini adalah salah satu poin yang akan kami dalami dan bahas dalam langkah hukum selanjutnya,” tegasnya.
Meski melontarkan berbagai kritik tajam terhadap putusan pengadilan, Febri menegaskan bahwa pihaknya tetap menghormati lembaga peradilan.
“Secara profesional, kami tetap menghargai institusi peradilan sebagai pilar demokrasi dan keadilan,” pungkasnya.
Editor: Sukardi Muhtar





