Diduga Rangkap Jabatan, Wabup Kolaka Husmaluddin Terancam Sanksi Pemberhentian

  • Share
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI), Dr. Titi Anggraini, Foto: Sunarto/DetikNews

Make Image responsive

Diduga Rangkap Jabatan, Wabup Kolaka Husmaluddin Terancam Sanksi Pemberhentian

SUARASULTRA.COM | KENDARI — Wakil Bupati (Wabup) Kolaka, Husmaluddin, diduga kuat merangkap jabatan setelah diketahui menduduki posisi sebagai Komisaris di perusahaan tambang nikel PT Mulia Makmur Perkasa (MMP).

Dugaan tersebut memantik sorotan tajam dari berbagai kalangan, termasuk para akademisi dan pemerhati tata kelola pemerintahan.

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI), Dr. Titi Anggraini, menilai bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurutnya, Pasal 76 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah secara tegas melarang kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi pengurus suatu perusahaan, baik milik swasta, negara, maupun daerah, serta yayasan dalam bidang apa pun.

“Ketentuan ini bersifat larangan mutlak tanpa pengecualian karena berkaitan langsung dengan upaya pencegahan konflik kepentingan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,”
ujar Titi Anggraini kepada awak media usai kegiatan bedah buku di salah satu hotel di Kendari, Rabu (15/10/2025) kemarin.

Titi Anggraini menjelaskan, larangan tersebut dimaksudkan agar kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat menjalankan jabatannya secara penuh, independen, dan bebas dari pengaruh kepentingan pribadi maupun korporasi.

“Apabila kepala daerah secara bersamaan menjadi direksi atau pengurus aktif perusahaan swasta, terutama di sektor tambang, maka terjadi benturan langsung antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi atau korporasi,”jelas Titi.

Lebih lanjut, Titi menegaskan bahwa kondisi semacam ini jelas melanggar Pasal 76 ayat (1) huruf c UU 23/2014, dengan konsekuensi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (1). Dalam ketentuan tersebut disebutkan, kepala daerah atau wakil kepala daerah yang menjadi pengurus perusahaan dapat dikenai sanksi pemberhentian sementara selama tiga bulan, yang diputuskan oleh Presiden untuk gubernur/wakil gubernur, serta oleh Menteri Dalam Negeri untuk bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota.

Baca Juga:  Pelaku Penipuan dan Penggelapan Mobil Rental Ditangkap Polisi

“Jika dalam masa pemberhentian sementara pejabat yang bersangkutan tidak mengakhiri keterlibatannya di perusahaan, maka sanksinya dapat ditingkatkan menjadi pemberhentian tetap karena dianggap tidak mematuhi larangan dan merusak integritas jabatan publik,”
imbuhnya.

Selain pelanggaran administratif, Titi juga menilai tindakan tersebut berpotensi melanggar etika jabatan publik, bahkan dapat mengarah pada penyalahgunaan wewenang (abuse of power) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf d, karena membuka peluang bagi pejabat publik untuk menggunakan kewenangannya demi kepentingan perusahaan yang ia kelola.

“Secara hukum dan etika pemerintahan, kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang masih menjadi pengurus atau direksi perusahaan swasta wajib mengundurkan diri dari jabatan tersebut,” tegas peneliti senior Perludem itu.

Titi menambahkan, apabila pejabat publik yang bersangkutan tidak segera mengundurkan diri, maka pemerintah pusat melalui Presiden atau Menteri Dalam Negeri wajib menegakkan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UU 23/2014.

“Langkah tegas harus diambil untuk menjaga prinsip good governance, integritas jabatan publik, serta kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah,”
pungkasnya.

Laporan: Redaksi

banner 120x600
  • Share
error: Content is protected !!