

CSR Konawe Gagal Melindungi Warga: Vonis PN Unaaha Menguak Paradigma Usang yang Mengakar
Opini oleh: Jumran, S.IP
Ketua Forum CSR Konawe
Putusan Pengadilan Negeri Unaaha beberapa bulan lalu, yang menjatuhkan vonis bersalah kepada PLTU PT Obsidian Stainless Steel (OSS) atas pencemaran lingkungan, bukan sekadar kemenangan hukum bagi masyarakat.
Putusan ini menjadi titik balik penting dalam sejarah pengelolaan industri di Konawe, sebuah momen yang secara telanjang membongkar kegagalan mendasar dalam praktik Corporate Social Responsibility (CSR) yang selama ini dijalankan di lingkar industri.
Selama bertahun-tahun, CSR di Konawe tumbuh dalam logika kewajiban formalitas, bukan logika pemenuhan hak. Perusahaan memberikan bantuan sekadar karena regulasi menuntutnya, bukan karena masyarakat memegang hak yang wajib dipenuhi.
Pola pikir seperti ini menjadikan CSR tidak lebih dari ritual administratif: pembagian paket sembako, pelatihan seremonial, pembangunan fasilitas kecil yang serba simbolik, hingga laporan tahunan yang rapi namun kosong substansi. Semua tampak baik di atas kertas, tetapi nihil kontribusi terhadap perlindungan masyarakat dan pemulihan lingkungan.
Putusan PN Unaaha menjadi bukti paling terang dari cacat paradigma ini. Bagaimana mungkin perusahaan yang setiap tahun memamerkan program CSR secara besar-besaran tetap dinyatakan bersalah mencemari lingkungan?
Bagaimana program CSR yang didesain untuk “tanggung jawab sosial” justru tidak mampu mencegah kerusakan, tidak memulihkan dampak, bahkan tidak bersentuhan sedikit pun dengan penderitaan warga akibat polusi udara, air tercemar, gangguan kesehatan, hingga rusaknya ruang hidup?
Jawabannya sederhana: CSR kita berjalan dalam dunia paralel yang tidak terhubung dengan realitas sosial-ekologis di lapangan.
Tidak ada baseline data sosial dan lingkungan.
Tidak ada pemantauan independen.
Tidak ada analisis risiko yang wajib dipublikasikan.
Tidak ada audit sosial.
Tidak ada mekanisme pemulihan yang mengikat perusahaan secara moral dan hukum.
CSR akhirnya hanya menjadi bukti bahwa “perusahaan telah berbuat sesuatu” bukan instrumen yang menjamin keselamatan warga. CSR sibuk mengurus citra, bukan tanggung jawab substantif.
Lebih memprihatinkan lagi, masyarakat ditempatkan dalam posisi yang sangat lemah. Dalam logika CSR berbasis kewajiban, warga diperlakukan sebagai penerima belas kasih, bukan subjek pemegang hak.
Mereka tidak memiliki mekanisme resmi untuk menuntut kualitas udara yang bersih, air layak konsumsi, ruang hidup yang sehat, atau pemulihan ekologis yang memadai. Keluhan warga sering berakhir di meja birokrasi yang tebal, sementara perusahaan melindungi diri dengan laporan CSR penuh foto dan angka, namun hampa dari dampak perlindungan.
Pola ini bukan monopoli Konawe. Di Teluk Moramo, program CSR perusahaan tambang berjalan beriringan dengan keruhnya perairan dan semakin terpinggirkannya nelayan. Di Kolaka, perusahaan nikel menyerahkan bantuan sosial setiap tahun, tetapi debu tambang terus mencemari permukiman. Di pesisir yang terdampak sedimentasi industri, CSR berjalan tanpa arah, menjadi seremonial yang sama sekali tidak relevan dengan penderitaan masyarakat.
Satu kesimpulan menjadi terang: CSR di Sulawesi Tenggara lebih banyak bekerja untuk menjaga citra perusahaan ketimbang melindungi masyarakat dari risiko sosial-ekologis.
Karena itu, perubahan mendasar tak bisa ditunda lagi. CSR harus bergeser dari logika kewajiban menuju logika hak—sebuah paradigma yang menempatkan masyarakat sebagai pemilik hak asasi yang tidak boleh dinegosiasikan: hak atas lingkungan bersih, hak atas air sehat, hak atas kesehatan, hak atas ruang hidup aman, dan hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan industri yang berdampak pada mereka.
CSR berbasis hak menuntut perusahaan untuk:
– mengidentifikasi dampak secara transparan,
– mencegah risiko sebelum terjadi,
– memulihkan kerusakan secara bertanggung jawab,
– menyediakan akses keadilan bagi warga,
– serta membuka total informasi mengenai operasional dan dampak lingkungan.
Perubahan paradigma ini mustahil terjadi tanpa gerakan sosial yang kuat. Kita membutuhkan gerakan yang menuntut keterbukaan dokumen CSR, mendorong audit sosial, mengawal program pemulihan ekologis, memperkuat posisi tawar warga, serta memastikan CSR menyentuh persoalan yang benar-benar dihadapi masyarakat.
Gerakan ini harus melibatkan masyarakat adat, kelompok tani dan nelayan, organisasi perempuan, akademisi, aktivis lingkungan, jurnalis independen, serta tokoh lokal yang memahami konteks sosial-ekologis Konawe.
Putusan PN Unaaha adalah momentum langka yang harus dimanfaatkan dengan baik. Kita tidak boleh lagi membiarkan CSR menjadi agenda tahunan yang hanya menghasilkan dokumentasi foto. Tidak boleh ada lagi perusahaan yang sibuk menyalurkan bantuan seremonial, namun menutup mata terhadap pencemaran yang mengancam kehidupan warga.
CSR harus berubah menjadi instrumen keadilan sosial dan ekologis. CSR harus memastikan bahwa perusahaan yang menikmati manfaat ekonomi di Konawe juga bertanggung jawab atas pemenuhan hak-hak dasar warga yang terdampak.
Dan yang terpenting: masyarakat tidak sedang meminta belas kasihan mereka sedang menuntut hak untuk dilindungi. ***

















