

Prof. Judhariksawan Desak Revisi UU Penyiaran: KPID Tidak Bisa Terus Hidup dari Hibah
SUARASULTRA.COM | JAKARTA – Mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat periode 2013–2016, Prof. Dr. Judhariksawan S.H., M.H., kembali menyoroti persoalan klasik yang hingga kini masih membelit Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID),.lemahnya pembiayaan dan ketidakjelasan payung hukum.
Ia menegaskan, revisi Undang-Undang Penyiaran tidak boleh lagi ditunda, terlebih di tengah pesatnya perkembangan media digital yang menuntut regulasi adaptif, komprehensif, dan berperspektif masa depan.
Prof. Judhariksawan menjelaskan bahwa problem mendasar terkait pembagian kewenangan dan pendanaan antara KPI Pusat dan KPID sudah mengemuka sejak akhir masa jabatannya pada 2016. Dalam ketentuan yang berlaku, KPI Pusat dibiayai APBN, sementara KPID sangat bergantung pada dukungan APBD.
“Ketentuan bahwa KPID dibiayai APBD justru menimbulkan masalah serius, karena penyiaran sejatinya merupakan urusan pemerintah pusat. Ada KPID yang bahkan tidak menerima honor karena anggaran daerah sangat terbatas,” ujarnya, Sabtu malam (6/12/2025).
Pemerintah memang menyediakan opsi mekanisme dana hibah dari pemerintah daerah, namun langkah tersebut dinilai tidak menyelesaikan akar persoalan dan justru melemahkan posisi kelembagaan KPID.
“Alangkah lemahnya pengakuan negara terhadap lembaganya sendiri jika anggarannya hanya berupa hibah. Hibah itu bersifat bantuan, sementara KPID adalah lembaga negara independen yang wajib dibiayai sebagaimana amanat undang-undang,” tegasnya.
Keterbatasan pendanaan itu, lanjutnya, berdampak langsung pada kualitas kerja KPID di berbagai daerah. Banyak KPID tidak memiliki sekretariat memadai, kekurangan tenaga administrasi, hingga mengalami stagnasi produktivitas. Semua itu sangat bergantung pada seberapa besar perhatian pemerintah daerah terhadap sektor penyiaran yang semestinya dipandang strategis bagi pembangunan informasi publik.
Sejak 2016, Prof. Judhariksawan bersama sejumlah pemangku kepentingan telah mendorong revisi menyeluruh UU Penyiaran, bukan hanya untuk memperjelas pendanaan, tetapi juga untuk memastikan kesetaraan pelaksanaan tugas KPID di seluruh Indonesia.
“KPI Pusat dan KPID tidak memiliki hubungan hierarkis, hanya koordinatif. Itu sebabnya KPI Pusat tidak bisa memberikan dukungan anggaran langsung. Salah satu usulan kami, seluruh pembiayaan penyiaran seharusnya ditanggung APBN,” jelasnya.
Ia berpendapat, penyiaran, termasuk produksi dan distribusi konten lokal merupakan bagian dari keanekaragaman budaya bangsa yang wajib dijaga dan dibiayai negara.
Prof. Judhariksawan juga menyoroti kekosongan regulasi dalam pengawasan media sosial dan media daring, yang kini menjadi sumber utama konsumsi informasi publik.
“Media sosial tumbuh begitu masif. Pertanyaannya, siapa yang mengawasi? Jika kita gagal melahirkan regulasi yang tepat, kita bisa kehilangan kontrol terhadap konten digital,” ujarnya.
Menurutnya, penggunaan UU ITE sebagai dasar pengawasan tidaklah ideal karena lebih berorientasi pada sanksi pidana, berbeda dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang digunakan KPI sebagai panduan etik dan kualitas siaran.
“Kalau ada yang menilai KPID gagal mengawasi konten online, ya wajar, karena KPI memang tidak punya kewenangan di ranah itu,” tambahnya.
Prof. Judhariksawan menyayangkan bahwa proses revisi UU Penyiaran telah berlarut-larut hampir 11 tahun tanpa penyelesaian. Padahal, menurutnya, penyempurnaan regulasi tersebut sangat penting bukan hanya untuk memperjelas status pendanaan KPID, tetapi juga untuk menata ulang mekanisme pengawasan konten di era digital yang begitu dinamis.
Pada kesempatan itu, ia turut mendorong DPRD di seluruh Indonesia agar lebih aktif memastikan dukungan anggaran yang layak bagi KPID, selama revisi UU Penyiaran belum juga disahkan.
Laporan: Redaksi

















