Dikebut di Akhir Tahun, Sejumlah Proyek di Konawe Tak Rampung Sesuai Kontrak

  • Share
Foto Kolase Proyek dan Ketua LPPK Sultra, Karmin, SH

Make Image responsive
Make Image responsive

Dikebut di Akhir Tahun, Sejumlah Proyek di Konawe Tak Rampung Sesuai Kontrak

SUARASULTRA.COM | KONAWE – Pemerataan pembangunan sejatinya merupakan cita-cita kolektif masyarakat ketika menentukan nakhoda pemerintahan.

Dari proses politik tersebut, harapan besar diletakkan di pundak kepala daerah dan wakilnya sebagai penerima amanah, agar mampu menghadirkan kesejahteraan yang berkeadilan, bukan sekadar deretan proyek fisik yang tampak megah di permukaan.
Namun, idealisme itu kerap berhadapan dengan ironi praktik di lapangan.

Pembangunan yang seharusnya dirancang secara matang, terukur, dan berpijak pada prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, justru terkesan dipaksakan. Kecepatan menjadi tujuan utama, sementara perencanaan, kualitas pekerjaan, serta kepatuhan terhadap regulasi perlahan tersisih, seolah dapat dinegosiasikan.

Secara kasat mata, kepala daerah kerap menampilkan berbagai gebrakan pembangunan lintas sektor. Di ruang publik, langkah-langkah tersebut tak jarang menuai pujian. Sebagian masyarakat awam menilai pembangunan masif sebagai indikator keberhasilan kepemimpinan, bahkan menempatkan pemimpin daerah layaknya sosok tanpa cela.

Sayangnya, di balik kerja maraton yang nyaris tanpa jeda itu, tersimpan potensi persoalan serius. Ketika pembangunan dikejar secara serampangan, muncul pertanyaan mendasar: apakah pembangunan tersebut benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat, atau sekadar mengejar target administratif dan kepentingan pencitraan?

Indikasi pembangunan yang terkesan “buru setoran” kian sulit diabaikan. Proyek digenjot demi kuantitas, sementara kualitas pekerjaan, ketepatan perencanaan, dan kelayakan waktu pelaksanaan nyaris diabaikan. Padahal, dalam praktik pengelolaan keuangan daerah khususnya pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) sebagian besar kepala daerah justru menghindari proyek fisik berskala besar.

Alasannya sederhana dan rasional. Keterbatasan waktu pelaksanaan di akhir tahun anggaran memiliki risiko tinggi, baik terhadap kegagalan penyelesaian pekerjaan maupun potensi munculnya persoalan hukum di kemudian hari.

Baca Juga:  Menambang di Lokasi Eks IUP KMS 27, KSO Basman Diduga Garap Kawasan Hutan

Namun, logika kehati-hatian tersebut tampaknya tidak sepenuhnya berlaku di Kabupaten Konawe.

Ketua Lembaga Pengawasan Pembangunan dan Kebijakan (LPPK) Sultra, Karmin, SH, menilai bahwa meski sejak awal telah diperkirakan sulit diselesaikan tepat waktu, sejumlah proyek tetap dipaksakan untuk dilelang.

Bahkan, lanjut Karmin, dalam pembahasan APBD-P, Badan Anggaran (Banggar) DPRD Konawe secara tegas telah mengingatkan pemerintah daerah agar proyek konstruksi yang berpotensi tidak selesai karena keterbatasan waktu pelaksanaan tidak dipaksakan.

“Ironisnya, peringatan tersebut seolah diabaikan. Proses lelang tetap berjalan, seakan pertimbangan teknis dan risiko hukum bukanlah prioritas utama,” ujar Karmin, Kamis (25/12/2025).

Fenomena ini pun menjadi perbincangan hangat di ruang publik. Masyarakat mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya dikejar: pembangunan yang berkelanjutan atau target lain yang tak kasat mata?

Karmin kemudian mencontohkan salah satu proyek yang dinilainya terkesan dipaksakan, yakni Pembangunan Revitalisasi STQ Kota Unaaha dengan Nomor Kontrak: 019/SPPK/PPK/PUPR-CK/KNW/XI/2025.

Proyek yang bersumber dari APBD-P tersebut memiliki nilai anggaran sebesar Rp2.829.000.000, dengan masa pelaksanaan 30 hari kalender, terhitung sejak 25 November hingga 24 Desember 2025.

“Kontraknya sudah berakhir, tetapi pekerjaannya belum selesai,” ungkap Karmin.

Selain itu, terdapat Pekerjaan Rehabilitasi Rumah Jabatan Bupati dengan Nomor Kontrak: 001/SPPK/PPK/PUPR-CK/KNW/VIII/2025, berlokasi di Kelurahan Puunaaha, Kecamatan Unaaha.

Proyek ini memiliki nilai kontrak sebesar Rp3.229.934.000, bersumber dari APBD Konawe 2025, dengan waktu pelaksanaan 120 hari kalender, terhitung sejak 29 Agustus hingga 26 Desember 2025, dan dilaksanakan oleh CV Kastra Putra Perkasa.

Selanjutnya, Proyek Rekonstruksi/Peningkatan Jalan Lakidende (2 Jalur) dengan Nomor Kontrak: 019/SPPK/PPK/PUPR-BM/KNW/XI/2025, memiliki nilai kontrak sebesar Rp34.720.000.000.

Proyek ini dilaksanakan oleh PT Segi Tiga Tambora. Namun, dalam papan informasi proyek, penyedia tidak mencantumkan waktu pelaksanaan kegiatan, sehingga menimbulkan tanda tanya terkait transparansi informasi publik.

Baca Juga:  Warga Desa Padaleu "Nikmati" Manfaat Dana Desa, Sejumlah Kebutuhan Terpenuhi

Dalam kondisi demikian, wajar apabila publik menilai adanya kejanggalan dalam proses perencanaan, penganggaran, hingga pelelangan proyek-proyek tersebut.

Pembangunan yang dipaksakan tidak hanya berisiko menurunkan mutu infrastruktur, tetapi juga berpotensi menyeret berbagai pihak ke dalam persoalan hukum, baik perdata maupun pidana, apabila dalam pelaksanaannya ditemukan indikasi pelanggaran, termasuk dugaan tindak pidana korupsi.

Lebih jauh, praktik semacam ini mencederai prinsip efisiensi anggaran dan akuntabilitas publik yang seharusnya menjadi fondasi utama penyelenggaraan pemerintahan.

Pembangunan sejatinya bukan soal seberapa cepat proyek dimulai, melainkan seberapa tepat sasaran, bermanfaat, dan berkelanjutan hasilnya bagi masyarakat. Ketika akal sehat dikalahkan oleh ambisi dan kejar tayang anggaran, maka yang lahir bukanlah kemajuan, melainkan persoalan baru yang kelak harus ditanggung oleh rakyat.

Menanggapi keterlambatan sejumlah pekerjaan tersebut, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Konawe melalui Kepala Bidang Cipta Karya, Rusdin, menyebut salah satu faktor keterlambatan disebabkan oleh kendala teknis di lapangan.

Meski demikian, Rusdin menjelaskan bahwa kontraktor masih diberikan tambahan waktu selama 7 hari kalender untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum rampung, dengan konsekuensi denda keterlambatan tetap diberlakukan.

“Kita berikan waktu penyelesaian pekerjaan hingga 31 Desember 2025,” kata Rusdin saat ditemui di lokasi proyek Revitalisasi STQ Unaaha, Kamis (25/12/2025).

Menurut Rusdin, yang baru saja dilantik sebagai Kabid Cipta Karya, kontrak belum langsung diputus karena pihak penyedia masih menunjukkan komitmen untuk menyelesaikan pekerjaan.

“Kalau kontrak diputus, otomatis proyek akan mangkrak. Itu yang kita antisipasi,” pungkasnya.

Laporan: Tim

Make Image responsive
Make Image responsive
banner 120x600
  • Share
error: Content is protected !!