Jika Capres Tak Menang di Setengah Provinsi, Akankah Pilpres Diulang?

  • Share
Ketgam : Arman Tosepu, SM

Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Ketgam : Arman Tosepu, SM
Opini Oleh : Arman Tosepu

 

KONAWE – Sejak Perhelatan ajang Pemilihan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) periode 2019-2024 yang digelar pada Rabu, (17/04/2019) lalu banyak pesan berantai yang muncul diberbagai media sosial.

 

banner 336x280
Bahkan, tagar-tagar “aneh” pun bermunculan dari pendukung salah satu calon presiden dan wakil presiden. Misalnya, tagar INA Election Observer SOS dan Muslim Cyber Army Russia For Prabowo yang disebut-sebut dalam rangka memanggil para pengawas Internasional dari PBB dan Hacker dari Rusia untuk membantu Indonesia.

 

Selain pesan berantai diatas, adapula pesan berantai yang menyebutkan  Pemilihan Presiden atau Pilpres 2019 akan diulang karena Calon Presiden atau Capres incumben Joko Widodo atau Jokowi tak menang di setengah jumlah provinsi di Indonesia.

 

Dalam pesan berantai tersebut menyebutkan tiga persyaratan penetapan calon presiden. Tiga persyaratan yang disebut dalam pesan tersebut adalah suara seorang calon presiden harus memperoleh lebih dari 50 persen, memenangkan suara di setengah jumlah provinsi, dan di sisa provinsi lainnya kalah minimal suara 20 persen.

 

Pesan ini beredar setelah Calon Presiden inkumben Joko Widodo atau Jokowi – Ma’ruf Amin unggul dalam hitung cepat atau quick count lembaga survei. Masalahnya, berdasarkan data per wilayah, Jokowi kalah di sebagian besar provinsi di Indonesia. Di Sumatera, misalnya, sejumlah lembaga survei menyebut Jokowi hanya unggul di Sumatera Utara dan Lampung.

 

Pertama, soal pesan berantai tagar INA Election Observer SOS. Menurut pemantau pemilu dari International dari Asian Network for Free Election (ANFREL), Lestari Nurhayati menilai pengguliran tagar tersebut berlebihan. Sumber : Liputan6.com, (27/03/2019).

 

Dia beranggapan, kemuculan tagar Indonesia Calls Observer atau INA election Observer SOS tanya membuat kesan seakan-akan kondisi Indonesia sedang genting. Lestari merasa tagar itu kurang tepat dimunculkan. Hal itu disebabkan seolah-olah Indonesia meminta bantuan internasional karena keadaan darurat.

 

Lestari juga menceritakan pengalamannya saat ia mengawasi pemilu di Afghanistan pada 2014. Di sana, dirinya merasa bahwa negara itu seakan-akan tidak berdaya karena segala keputusan pemilu ditentukan oleh PBB. Lestari menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah bekerja secara profesional karena telah mengundang 33 negara untuk memonitoring pada Pemilu 2019 nanti. Kendati demikian, Lestari tetap menekankan perlu adanya kritik terhadap lembaga itu.

 

Kedua, Pesan berantai Pilpres 2019 bakal diulang karena Calon Presiden atau Capres inkumben Joko Widodo atau Jokowi tak menang di setengah jumlah provinsi di Indonesia. Dikutip dari laman Tempo.co, (22/04/2019), Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menjelaskan bahwa pesan berantai tersebut tidak benar.

 

Sumber pesan berantai tersebut adalah  Pasal 159 Undang-Undang 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Tetapi, Pada 2014, pihak Perludem telah mengajukan gugatan atas pasal ini dan Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan.

 

Saat ini, aturan penetapan presiden terpilih mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Terhadap UUD 1945. Putusan MK Nomor 52/2014 sudah diakomodir dalam Pasal 3 Ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019.

 

Pasal itu berbunyi, Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih. Dalam pendapat MK yang dibacakan hakim konsitusi Muhammad Alim, sebaran suara sebanyak 20 persen di setengah provinsi di Indonesia dalam Pasal 159 itu berlaku jika ada lebih dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Namun, jika hanya ada dua pasangan, tidak perlu Pemilu dua putaran.

 

Sehingga dengan ini kesimpulannya adalah dua jenis pesan berantai diatas merupakan hal yang keliru, sia-sia dan lebih banyak mudharatnya. Sebagai warga negara yang baik, alangkah bijaknya apapun hasil dari Pilpres 2019 menerima dengan lapang dada tanpa mengorbankan semangat persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI. Apalagi sampai menuduh pihak penyelenggara, TNI dan Polri berbuat curang atau membela salah satu pihak, sementara demi mensukseskan Pemilu 2019 mereka rela berkorban hingga meregang nyawa.(**)
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
banner 120x600
  • Share
error: Content is protected !!