SUARASULTRA.COM | KENDARI – Dugaan pencemaran lingkungan yang melibatkan PT Tambang Bumi Sulawesi (TBS) terus memicu polemik dan pro kontra di masyarakat. Aktivitas perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Blok Watalara, Desa Pu’ununu, Kecamatan Kabaena Selatan, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, ini diduga menyebabkan kerusakan lingkungan, terutama pencemaran air di sungai dan pesisir pantai di sekitar pemukiman warga.
Kasus ini mulai mencuat ketika Aliansi Masyarakat Pemerhati Lingkungan dan Kehutanan (AMPLK) Sulawesi Tenggara menyoroti dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan tersebut. AMPLK mengungkapkan bahwa aliran air di sungai dan pesisir pantai tercemar akibat aktivitas pertambangan PT TBS, terutama saat musim hujan. Menurut Ketua AMPLK Sultra, Ibrahim, air yang mengalir di sungai dan pesisir pantai menjadi keruh, bahkan berwarna merah akibat lumpur yang terbawa.
“Aliran sungai dan pesisir pantai diduga tercemar akibat aktivitas PT Tambang Bumi Sulawesi, yang semakin parah ketika musim hujan datang. Kali dan pesisir pantai berubah menjadi kemerahan, karena lumpur merah ikut terbawa,” ujar Ibrahim kepada awak media beberapa waktu lalu.
Ibrahim juga menambahkan bahwa perusahaan diduga tidak membangun sedimen pont atau kolam penampungan endapan, yang seharusnya menjadi kewajiban dalam mengelola limbah pertambangan. Tanpa fasilitas tersebut, limbah dan lumpur langsung mengalir ke sungai dan pesisir pantai, merusak ekosistem di sekitar lokasi.
“Seharusnya, berdasarkan peraturan perundang-undangan, perusahaan wajib membuat sedimen pont sebelum memulai aktivitas pertambangan agar limbah atau lumpur tidak langsung mencemari lingkungan. Namun, kami menduga PT TBS tidak mematuhi aturan ini,” lanjut Ibrahim.
Ibrahim juga mengingatkan bahwa dampak pencemaran tersebut sangat merugikan nelayan setempat. Aktivitas pertambangan yang mencemari sungai dan pesisir pantai mengganggu mata pencaharian masyarakat pesisir, yang semakin kesulitan untuk melaut.
“Nelayan yang biasa mencari ikan di perairan sekitar kini harus melaut lebih jauh. Selain itu, flora dan fauna yang ada di kali dan pesisir pantai juga terancam,” terangnya.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 113 Tahun 2003, PT TBS seharusnya menjaga baku mutu air di sekitar aktivitas tambangnya. Namun, menurut AMPLK, perusahaan tersebut diduga mengabaikan kewajiban ini, yang menjadi dasar pengaduan mereka.
Manajemen PT TBS Bantah Tuduhan Pencemaran
Menanggapi tuduhan pencemaran lingkungan, manajemen PT TBS membantah klaim tersebut. Nindra, perwakilan manajemen PT TBS, menyatakan bahwa foto-foto yang beredar terkait keruhnya air di Sungai Watalara sebenarnya merupakan gambar lama yang diambil dua tahun lalu, saat kegiatan pertambangan sedang berhenti.
“Foto yang beredar itu sudah lama, diambil dua tahun lalu. Waktu itu, aktivitas pertambangan kami sedang berhenti, dan keruhnya air bukan karena banjir, melainkan akibat curah hujan yang tinggi,” jelas Nindra.
Menurut Nindra, fenomena keruhnya air di Sungai Watalara dan pesisir pantai sekitar bukan hal baru. Ia menjelaskan bahwa keruhnya air di sungai dan muara saat hujan deras sudah terjadi sejak lama, bahkan sebelum adanya kegiatan pertambangan.
“Keruhnya air di Sungai Watalara dan pesisir pantai bukan hanya terjadi di area IUP kami, tetapi juga di pesisir IUP lain, yang menunjukkan bahwa hal ini lebih dipengaruhi oleh curah hujan yang tinggi,” sambungnya.
Nindra juga menegaskan bahwa PT TBS telah mematuhi kaidah pertambangan yang baik, termasuk pembuatan Check Dump dan pemantauan baku mutu air, yang diawasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) secara online.
DPRD Sultra Akan Panggil PT TBS dan Telusuri Dugaan Kerugian Negara
Persoalan ini berlanjut ke ranah legislatif. Anggota Komisi III DPRD Sultra, Suwandi Andi, menyatakan bahwa pihaknya akan memanggil manajemen PT TBS untuk memberikan klarifikasi mengenai dugaan pencemaran lingkungan yang terjadi di sekitar kawasan pertambangan. Suwandi juga menyoroti potensi kerugian negara akibat aktivitas pertambangan yang diduga merugikan sektor perpajakan.
“Kami akan memanggil pihak PT TBS yang beroperasi di Kabaena Selatan. Kami juga akan menindaklanjuti dugaan kerugian negara yang dapat mencapai ratusan miliar rupiah terkait sektor perpajakan,” ujar Suwandi saat menemui massa aksi Konsorsium Mahasiswa Sultra (Korum) di kantor DPRD Sultra.
Selain itu, anggota Komisi III lainnya, Abdul Khalik, menegaskan pentingnya menelusuri dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang disusun untuk PT TBS. Menurutnya, AMDAL seharusnya menjadi tanggung jawab moral bagi pihak yang menyusunnya, dan adanya potensi ketidaksepahaman antara pihak swasta dan independensi penyusunan AMDAL perlu menjadi perhatian serius.
“Kami akan menelusuri soal AMDAL PT TBS, karena ini terkait dengan tanggung jawab lingkungan yang harus dipertanggungjawabkan,” tegas Abdul Khalik.
Profil PT Tambang Bumi Sulawesi
PT Tambang Bumi Sulawesi adalah perusahaan tambang nikel yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas 1.533,00 hektare di Blok Watalara, Desa Pu’ununu. Perusahaan ini terdaftar dengan nomor perizinan 1134/1/IUP/PMDN/2022 dan beralamat di Jalan Pantai Indah Kapuk Komplek Toho E No. 11, Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Kota Jakarta Utara.
Perusahaan ini dipimpin oleh Yaman Pakolo selaku Komisaris dan Basmala Septian Jaya sebagai Direktur.
Laporan: Redaksi