


SUARASULTRA.COM | KONKEP – Perusahaan PT Gema Kreasi Perdana (GKP) yang saat ini tengah mengelola pertambangan nikel di Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), Sulawesi Tenggara (Sultra), hingga kini masih memicu kontroversi.
PT GKP diketahui sebagai anak perusahaan dari Harita Group yang dipimpin oleh konglomerat Lim Gunawan Hariyanto.
Bertabur Bisnis Harita Group
Harita Group, yang dikendalikan oleh keluarga Lim, memiliki berbagai lini bisnis utama di sektor Sumber Daya Alam (SDA) yang tersebar di seluruh Indonesia. Harita Group kini tengah mengembangkan bisnisnya di Kabupaten Konawe Kepulauan melalui anak perusahaannya, PT Gema Kreasi Perdana (GKP).
Selain GKP, Harita Group juga memiliki perusahaan-perusahaan lain yang bergerak di sektor pertambangan nikel seperti PT Trimegah Bangun Persada (TBP) yang berlokasi di Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Selain nikel, Harita Group juga terlibat dalam sejumlah sektor lain seperti pertambangan bauksit melalui Citra Mineral Investindo, perkebunan kelapa sawit melalui Bumitama Agri, perkapalan lewat Lima Srikandi Jaya, dan pengembangan properti melalui Cipta Harmoni Lestari.
Karut Marut Aktivitas PT GKP di Konkep
Aktivitas PT GKP di Kabupaten Konawe Kepulauan tak berjalan mulus. Perusahaan ini kini tengah menghadapi sorotan publik, khususnya terkait dengan legalitas izin mereka. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 57 dan 14, serta Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35, aktivitas pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sudah tidak diperbolehkan.
Selain itu, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang dimiliki PT GKP juga sudah kedaluwarsa. IPPKH yang diterbitkan pada 2014 itu tidak ada aktivitas nyata selama dua tahun, yang mengakibatkan dokumen tersebut batal secara otomatis.
Menurut putusan MA dan MK, PT GKP saat ini tidak memiliki legitimasi untuk melakukan kegiatan pertambangan di Pulau Wawonii. Hal ini disorot oleh Wakil Ketua DPRD Konkep, Sahidin, yang memperingatkan bahwa PT GKP telah melanggar peraturan, termasuk pasal tambang dalam Perda RTRW Konkep 2021 yang sudah dihapus oleh dua putusan MA. Dengan dibatalkannya izin kawasan hutan oleh MA, PT GKP tidak dapat lagi melakukan aktivitas tanpa IPPKH yang sah.
Beradu Tameng di Kasus GKP
Terkait isu tersebut, PT GKP melalui Manager Strategic Communication-nya, Hendry Drajat Muslim, menegaskan bahwa pihaknya tidak merasa melanggar putusan apapun dari MA maupun MK. Hendry menjelaskan bahwa PT GKP telah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA terkait putusan kasasi yang sebelumnya memerintahkan pencabutan IPPKH. Hingga saat ini, menurutnya, belum ada pencabutan resmi terhadap IPPKH PT GKP.
Hendry juga menambahkan bahwa meskipun IPPKH dicabut, hal tersebut tidak serta-merta membatalkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT GKP, karena MA telah menetapkan legalitas IUP tersebut. Ia juga menjelaskan bahwa berdasarkan putusan MK, pertambangan di pulau kecil tidak dilarang mutlak, asalkan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh perundang-undangan dan kementerian/lembaga yang berwenang.
Tanggapan Kuasa Hukum Masyarakat Wawonii
Kuasa hukum masyarakat Wawonii, Harimuddin, dari Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm, menanggapi klaim PT GKP dengan tegas. Dalam rilis yang diterima AmanahSultra.id, Harimuddin menegaskan bahwa Putusan Mahkamah Agung Nomor 403 K/TUN/TF/2024 yang membatalkan IPPKH PT GKP telah berkekuatan hukum tetap. Ia menambahkan bahwa meskipun PT GKP mengajukan PK, Pemprov Sultra harus tetap menghormati putusan ini dan melarang perusahaan tersebut melanjutkan kegiatan pertambangan di Pulau Wawonii.
Harimuddin juga menjelaskan bahwa IPPKH PT GKP telah kedaluwarsa karena tidak ada kegiatan nyata di lapangan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam keputusan yang diterbitkan pada 18 Juni 2014. Kegiatan pertambangan baru dimulai pada akhir 2019, padahal batas waktu yang ditentukan sudah lewat pada 18 Juni 2016.
Lebih lanjut, Harimuddin menegaskan bahwa Mahkamah Agung juga telah membatalkan pasal-pasal dalam Peraturan Daerah Konawe Kepulauan (Perda RTRW Konkep) yang mengatur ruang kegiatan pertambangan di Pulau Wawonii. Perda tersebut bertentangan dengan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang melarang kegiatan pertambangan di pulau kecil.
“Pemprov Sultra harus mengingat dua putusan Mahkamah Agung yang dengan jelas menghapus ketentuan ruang untuk kegiatan pertambangan di Pulau Kecil Wawonii. Kegiatan pertambangan di pulau tersebut jelas bertentangan dengan hukum,” kata Harimuddin.
Editor: Sukardi Muhtar













