


SUARASULTRA.COM | BOMBANA – Dahulu, ombak Pantai Baliara di Kecamatan Kabaena Barat, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, adalah melodi kehidupan bagi warganya. Lautnya yang kaya raya menjadi tumpuan ekonomi, di mana para nelayan mampu meraup hingga Rp700.000 dalam sehari, memasok ikan segar dan rumput laut berkualitas hingga ke Makassar.
Namun, kini, lanskap pesisir yang dulunya menjanjikan itu berubah drastis menjadi panggung kecemasan dan keputusasaan.
Aktivitas pertambangan nikel yang gencar dilakukan oleh PT Timah Investasi Mineral (TIM) dan PT Trias Jaya Agung (TJA) dituding kuat sebagai biang keladi kerusakan ekosistem laut yang tak terperi.
Jejak eksploitasi sumber daya alam ini meninggalkan luka menganga pada lingkungan dan sosial masyarakat setempat.
Kini, hasil tangkapan nelayan merosot tajam, tak lebih dari separuh pendapatan sebelumnya, bahkan seringkali jauh di bawah angka Rp200.000 meski telah berjuang dari subuh hingga larut malam. Perubahan warna air laut menjadi keruh dan tercemar menjadi pemandangan sehari-hari.
Tak hanya itu, budidaya rumput laut gagal panen, dan ikan-ikan dalam keramba mati misterius satu per satu.
Ketakutan mencengkeram benak warga. Kekhawatiran akan kandungan limbah ore nikel membuat mereka waswas untuk mengonsumsi hasil laut sendiri. Ironisnya, air laut yang dulunya menjadi sahabat kini terasa asing dan menyebabkan gatal-gatal saat bersentuhan dengan kulit.
“Kami tidak menolak tambang, tapi kami hanya ingin keadilan dalam kehidupan,” ujar seorang warga dengan nada getir, mewakili suara pilu seluruh komunitas Desa Baliara.
Dampak buruk aktivitas tambang tak hanya terbatas di lautan. Banjir kini menjadi ancaman yang lebih sering menghantui permukiman warga.
Tragisnya, seorang balita dilaporkan meregang nyawa tenggelam di perairan yang keruh, sebuah tragedi yang menjadi simbol hilangnya rasa aman yang dulunya melekat erat pada desa ini.
Ibu Rahma, seorang warga yang tak kuasa menahan air mata, berbagi pilunya, “Dulu, laut ini adalah sumber rezeki utama kami, dapur kami. Sekarang, laut justru membuat kami lapar dan dihantui rasa takut. Anak-anak kami tak lagi riang bermain di pantai. Ikan yang kami tangkap pun tak lagi aman untuk disantap.”
Kecaman keras atas dugaan kelalaian pengawasan pemerintah datang dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tenggara.
“Apa yang terjadi di Baliara adalah bukti nyata bagaimana negara abai terhadap hak hidup masyarakat pesisir. Ini bukan sekadar isu lingkungan, tetapi perampasan ruang hidup dan sumber penghidupan,” tegas WALHI Sultra.
Kini, harapan terakhir masyarakat Baliara tertuju pada pemerintah pusat dan daerah, aparat penegak hukum, serta para pemangku kepentingan lainnya untuk segera bertindak.
Mereka tidak menampik pembangunan, namun mereka menuntut keadilan, menuntut pemulihan kesehatan laut mereka, dan menuntut hak untuk hidup yang layak di tanah leluhur mereka.
“Kami tidak meminta kemewahan. Kami hanya ingin laut kami kembali seperti dulu,” pungkas seorang warga dengan nada penuh harap.***
Editor: Sukardi Muhtar





