


SUARASULTRA.COM | KONAWE – Minggu pagi, 18 Mei, kabut tipis masih memeluk erat belukar Desa Tirawonua, Kecamatan Routa, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Namun, alih-alih berdiam diri di rumah, puluhan warga dengan tekad membara menembus pekatnya rimba, menyusuri setia tepian sungai yang selama ini menjadi urat nadi kehidupan desa.
Parang di tangan mereka berkilat tertimpa sisa embun pagi, bukan untuk berburu, melainkan untuk sebuah misi yang lebih mendesak, mencari jawaban atas misteri hilangnya air bersih mereka.
Di barisan terdepan, Saris Ladupai, sang Kepala Desa Tirawonua, memimpin langsung ekspedisi pencarian yang penuh harap namun juga sarat kekecewaan.
Langkah kaki mereka menyusuri jejak jalur pipa yang seharusnya menjadi arteri kehidupan, mengalirkan air dari bak penangkap (intek) menuju bak penampungan yang menjadi tumpuan harapan warga.
Namun, di ujung pencarian yang melelahkan, kenyataan pahit menghantam bak petir.
Pipa utama, yang seharusnya kokoh mengantarkan air, ditemukan putus bagai ranting rapuh. Aliran air yang dinanti-nantikan tersumbat oleh bebatuan yang menghadang tanpa ampun.
Lebih menyayat hati, bak penangkap air, sumber utama kehidupan, tampak rusak parah, menganga kosong tanpa daya.
“Air bersih kami… harapan itu seolah sirna,” lirih Saris, tatkala matanya nanar menatap kerusakan di lokasi.
Bencana infrastruktur ini telah merenggut akses air bersih warga Tirawonua selama hampir sepekan terakhir. Dalam keputusasaan, mereka terpaksa menggali sumur-sumur darurat, mengandalkan air tanah yang belum tentu kualitasnya.
Bagi mereka yang tak memiliki sumur, perjuangan lebih berat, memikul jeriken-jeriken berisi air dari sungai yang berjarak ratusan meter, menyabung nyawa dan tenaga demi setetes air.
Ironisnya, jaringan pipa yang kini hancur lebur itu baru saja rampung dibangun tahun lalu. Anggaran fantastis sebesar Rp1,5 miliar dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Konawe digelontorkan untuk proyek yang seharusnya menjadi solusi jangka panjang.
Namun, usia proyek itu bahkan belum genap setahun jagung. Pipa-pipa sudah menyerah pada tekanan alam atau kualitas pengerjaan yang buruk, bak intek jebol tak berdaya, dan saluran air lumpuh total, meninggalkan mimpi warga akan air bersih sebagai puing-puing harapan.
“Warga terpaksa membongkar ulang sebagian konstruksi karena bak penangkap air mengalami kerusakan yang sangat parah. Belum genap enam bulan kami menikmati, jaringan perpipaannya sudah hancur berkeping-keping,” ungkap Saris dengan nada getir, mencerminkan kekecewaan mendalam seluruh warganya.
Semangat gotong royong memang tak pernah padam di Tirawonua. Warga bahu-membahu mencoba memperbaiki jaringan yang rusak. Namun, hingga detik ini, air bersih masih menjadi barang mewah yang sulit didapatkan di desa mereka.
Yang mengalir deras justru air mata kekecewaan dan pertanyaan besar, ke mana pertanggungjawaban atas proyek miliaran rupiah yang kini menjadi sumber penderitaan?
Editor: Sukardi Muhtar





