Praktisi Hukum Risal Akman: Penundaan Eksekusi Sengketa Tapak Kuda Harus Melalui Upaya Hukum Perlawanan

  • Share
Risal Akman, SH, MH

Make Image responsive

Praktisi Hukum Risal Akman: Penundaan Eksekusi Sengketa Tapak Kuda Harus Melalui Upaya Hukum Perlawanan

SUARASULTRA.COM | KENDARI – Sengketa lahan Tapak Kuda yang tengah menjadi perhatian publik di Sulawesi Tenggara menuai tanggapan dari praktisi hukum Risal Akman, SH., MH.

Menurutnya, langkah pihak pemenang perkara untuk mengajukan eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) merupakan tindakan yang sah dan sesuai ketentuan hukum.

“Sepanjang dalam diktum putusan yang telah inkracht itu terdapat amar bersifat condemnatoir, yakni menghukum pihak yang kalah untuk menyerahkan objek sengketa tanpa syarat — maka Pengadilan harus melaksanakannya, Namun langka untuk menunda eksekusi itu harus dilakukan melalui upaya hukum berupa perlawanan pihak ketiga yang tidak ikut dalam perkara, jelas Ketua DPC Peradi Unaaha itu kepada SuaraSultra.com, Minggu (2/11/2025).

Namun, Risal mengingatkan pentingnya dilakukan pencocokan lokasi (konstatering) terlebih dahulu sebelum pelaksanaan eksekusi. Hal ini untuk memastikan apakah objek sengketa yang akan dieksekusi masih sesuai dengan yang tercantum dalam putusan.

“Jika ternyata sudah tidak sesuai dengan keadaan dan fakta di lapangan, maka pengadilan dapat menunda pelaksanaan eksekusi. Karena jika dipaksakan, ada potensi pelanggaran hukum acara dan bisa merugikan pihak lain yang tidak termasuk dalam perkara,” terangnya.

Tanggapi Isu Status HGU yang Berakhir

Menanggapi pendapat sejumlah pihak yang menyebut bahwa putusan tidak dapat dieksekusi (non executable) karena objek tanah berstatus Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) yang masa berlakunya telah berakhir, Risal menilai hal itu tidak serta-merta membatalkan eksekusi.

“Status HGU yang sudah berakhir bukan alasan hukum untuk menolak pelaksanaan putusan. Pengadilan tetap berpedoman pada amar putusan yang telah berkekuatan hukum tetap,” ujarnya.

Baca Juga:  Bupati Konut Himbau Warga Desa Tingkatkan Program Pertanian

Menurutnya, dalam kondisi seperti itu, maka peran pemerintah atas nama negara menjadi sangat penting. Jika benar masa berlaku HGU sudah berakhir, maka secara administrasi yuridis tanah tersebut telah kembali menjadi tanah yang dikuasai negara.

“Pemerintah dapat hadir sebagai pihak ketiga untuk mengajukan upaya hukum perlawanan ke pengadilan. Tujuannya agar penetapan eksekusi dinyatakan tidak berkekuatan mengikat, dengan alasan objek eksekusi bukan lagi milik pemegang SHGU karena masa berlakunya telah berakhir,” sehingga syarat ptusan non eksekutable telah terpenuhi, jelas alumni Pascasarjana Universitas Islam Jakarta itu.

Pengadilan Bersifat Pasif, Bukti Hukum Harus Konkret

Risal juga menegaskan bahwa dalam perkara perdata, pengadilan bersifat pasif dan tidak akan bertindak hanya berdasarkan pernyataan sepihak tanpa bukti hukum yang sah. Karena itu, jika pemerintah ingin mempertahankan tanah yang telah kembali menjadi tanah negara, maka harus menempuh jalur hukum yang sesuai.

“Kehadiran pemerintah atas nama negara bukan bentuk intervensi terhadap pengadilan, melainkan untuk menjamin kepastian hukum terhadap objek eksekusi yang statusnya telah berubah,” tegasnya.

Ia menambahkan, penyelesaian sengketa Tapak Kuda seharusnya tidak dibiarkan berlarut-larut karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pihak termasuk pihak pihak yang secara defacto dan de jure telah menguasai lahan secara sah dan beritikad baik.

“Sudah saatnya persoalan ini dituntaskan secara hukum agar tidak menimbulkan polemik berkepanjangan,” pungkas Risal Akman.

Laporan: Redaksi

banner 120x600
  • Share
error: Content is protected !!