Membaca SP3 KPK RI atas Kasus Tambang Nikel Konawe Utara: Di Antara Dugaan dan Bukti

  • Share

Make Image responsive
Make Image responsive

Membaca SP3 KPK RI atas Kasus Tambang Nikel Konawe Utara: Di Antara Dugaan dan Bukti

Oleh: Fajar Meronda
(Saksi dalam perkara)

Opini – Sebagai salah satu saksi yang pernah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI bersama sejumlah saksi lain seperti Amran Sulaiman (Menteri Pertanian) dan Ruksamin (Bupati Konawe Utara periode 2017–2024) serta mengikuti dinamika kasus tambang nikel Konawe Utara sejak awal, publik perlu menempatkan perkara ini secara jernih dan proporsional.

Penting untuk membedakan antara dugaan, persepsi publik, dan pembuktian hukum.

Kasus tambang nikel Konawe Utara yang melibatkan Aswad Sulaiman (Bupati Konawe Utara periode 2007–2016) sejak awal memang sarat muatan besar: politik sumber daya alam, nilai strategis komoditas nikel, serta ekspektasi publik terhadap KPK RI sebagai simbol perlawanan terhadap korupsi di sektor pertambangan.

Tidak mengherankan bila setiap perkembangan kasus ini selalu memantik perhatian luas dan perdebatan publik.

Penghentian penyidikan (SP3) oleh KPK RI dalam perkara ini kembali menimbulkan pro dan kontra. Narasi yang berkembang sebelumnya sangat besar: dugaan suap Rp13 miliar dari 8 perusahaan tambang, penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) yang disebut melawan hukum, hingga potensi kerugian negara yang disebut mencapai Rp2,7 triliun.

Namun dalam negara hukum, perkara pidana tidak ditentukan oleh besarnya angka atau kuatnya opini publik, melainkan oleh kecukupan dan kekuatan alat bukti.
Secara kronologis, kasus ini bermula dari penerbitan IUP kepada sejumlah perusahaan tambang pada tahun 2007 oleh Penjabat Bupati Konawe Utara saat itu, Aswad Sulaiman.

Sekitar tahun 2012, muncul laporan masyarakat yang kemudian ditindaklanjuti aparat penegak hukum. Setelah melalui proses panjang berupa penyelidikan dan penyidikan, pada tahun 2017 KPK RI menetapkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka tindak pidana korupsi.

Baca Juga:  Babinsa Kodim Kendari Bantu Polisi Amankan Gereja dan Objek Vital

Namun, dalam perkembangan penyidikan, dugaan suap Rp13 miliar tidak pernah menemukan bukti kunci. Tidak ditemukan aliran dana, tidak ada saksi yang melihat atau mengetahui secara langsung transaksi suap tersebut, dan tidak terdapat pengakuan dari pihak yang diduga menerima.

Dalam hukum pidana, tanpa bukti transfer, saksi yang kredibel, atau pengakuan, dakwaan suap akan sangat rapuh jika dipaksakan ke meja hijau. Memaksakan perkara dalam kondisi seperti ini justru berisiko besar bagi KPK untuk kalah di pengadilan.

Dugaan penerbitan izin yang melawan hukum pun menghadapi persoalan serupa. IUP yang dipersoalkan ternyata telah diuji melalui jalur peradilan. PT Antam pernah menggugat izin milik Grup PT Harita yang diterbitkan oleh Bupati Konawe Utara saat itu.

Pada tingkat pertama PT Antam memang memenangkan perkara, namun pada tingkat banding hingga kasasi, Grup PT Harita justru dinyatakan menang. Putusan kasasi tersebut merupakan fakta hukum yang tidak bisa diabaikan dan menjadi rujukan penting bahwa izin dimaksud tidak dapat serta-merta dinyatakan melawan hukum.

Sementara itu, narasi kerugian negara sebesar Rp2,7 triliun lebih banyak berdiri di atas asumsi. Dari total 8 perusahaan dengan 30 SK pemegang IUP, hanya satu perusahaan yang benar-benar melakukan aktivitas penambangan.

Dengan kondisi demikian, klaim kerugian negara lebih tepat disebut sebagai potensi kerugian, bukan kerugian negara yang nyata dan terukur sebagaimana disyaratkan dalam hukum pidana korupsi.
Pada titik inilah SP3 KPK RI perlu dibaca secara lebih jernih dan objektif.

Penghentian penyidikan bukan berarti membenarkan dugaan pelanggaran, melainkan mencerminkan kehati-hatian penegak hukum agar tidak memaksakan perkara yang lemah secara pembuktian.

Dalam konteks penegakan hukum, membawa perkara besar tanpa fondasi bukti yang kuat justru dapat mencederai rasa keadilan dan merugikan kredibilitas institusi penegak hukum itu sendiri.

Baca Juga:  Dilantik, Rabiudin Aspa Resmi Jadi Anggota DPRD Konut

Rencana Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) untuk mengajukan praperadilan atas SP3 tersebut merupakan hak yang sah secara konstitusional.

Namun perlu dipahami bahwa praperadilan hanya menguji aspek prosedural, bukan menentukan bersalah atau tidaknya seseorang. Apabila KPK mampu menunjukkan bahwa penyidikan telah dilakukan secara maksimal dan alat bukti memang tidak mencukupi, maka peluang pembatalan SP3 akan sangat terbatas.

Kasus ini semestinya menjadi refleksi bersama. Buruknya tata kelola pertambangan, tumpang tindih perizinan, serta lemahnya pengawasan pasca-penerbitan izin merupakan persoalan struktural yang jauh lebih mendesak untuk dibenahi.

Tanpa perbaikan sistemik, penegakan hukum akan selalu datang terlambat, ketika bukti telah menguap dan perkara hanya tersisa sebagai polemik publik.

Pada akhirnya, keadilan tidak selalu identik dengan menghukum. Dalam negara hukum, keadilan juga berarti keberanian untuk mengatakan: dugaan ada, tetapi bukti tidak cukup. ***

Make Image responsive
Make Image responsive
banner 120x600
  • Share
error: Content is protected !!