Opini: Anda memperlihatkan langit kepadaku, tapi apalah artinya cakrawala, bagi manusia kecil melata, yang hanya mampu merangkak terseok – seok.
Ungkapan di atas adalah ucapan dari Dr.Salvador Luarel Ketua Lembaga Bantuan Hukum Filipina. Ungkapan tersebut sebagai manifestasi perasaan golongan masyarakat kecil yang terhibur dengan kecemerlangan integritas hak asasi pribadi.
Namun, dalam kenyataan dan praktik penegakan hukum mereka sama sekali tidak berdaya ketika berhadapan dengan kecongkakan kekuasaan para penegak hukum yang selalu bertindak sewenang – wenang dan jauh dari rasa keadilan.
Hal inilah barangkali yang di khawatirkan oleh semua kawan – kawan mahasiswa, terutama orang tua Almarhum Randi dan Almarhum Muh. Yusuf Kardawi dalam pelaksanaan penegakan hukum atas kasus penembakan dan penganiayaan mahasiswa di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sultra pada tanggal 26 September 2019.
Secara institusi, Polda Sultra dan Polresta Kendari gagal melaksanakan kewajibannya dalam menjaga serta menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dan keselamatan jiwa pendemo. Sehingga Kapolda Sultra dan Kapolresta Kendari harus bertanggung jawab atas hal tersebut.
Harus ada efek jerah sekaligus warning (perhatian) bagi pimpinan institusi kepolisian di seluruh wilayah NKRI bahwa Hak Asasi Manusia dan keselamatan jiwa seseorang harus terjamin dalam menyalurkan aspirasinya.
Atas perisitiwa mengerikan itu, Kapolda Sultra harusnya dibebastugaskan kalau perlu penurunan pangkat, begitu juga dengan Kapolresta Kendari. Tetapi kenyataannya, Kapolda justru ditugaskan di Mabes Polri dan Kapolresta Kendari masih menjabat.
Selain itu, dalam sidang etik enam anggota polisi terbukti melanggar SOP karena membawa senjata api pada saat penanganan demonstrasi. Perbuatan mereka jelas – jelas menunjukan sikap ketidakpatuhan dan ketidaktaatan terhadap perintah intitusinya. Apalagi perbuatan mereka dapat membahayakan keselamatan jiwa bagi para pendemo dan masyarakat di sekitar Tempat Kejadian Perkara (TKP). Sehingga sudah sepatutnya mereka diberhentikan dari institusi kepolisian.
Kasus ini jangan sampai hanya berkutat pada persoalan kode etik internal kepolisian saja. Sebab jika demikian maka sama halnya kepolisian sebagai penegak hukum telah mencoreng rasa keadilan publik.
Dalam peristiwa mengerikan tersebut, penulis berpendapat, bukanlah persoalan pelanggaran kode etik semata, melainkan sebuah kejahatan kemanusiaan. Sehingga kita berharap kasus ini bisa selesai lewat proses hukum dan dibuktikan lewat peradilan pidana.
Semula Polda Sultra sempat berspekulasi bahwa anggotanya tidak dibekali senjata api. Tetapi nyatanya enam orang anggota terbukti membawa senpi tanpa ada intruksi pimpinan.
Sejauh ini juga, belum ada informasi resmi terkait keterangan enam anggota polisi tersebut, apakah mereka melakukan penembakan atau tidak. Di lain sisi, publik harus bersabar menunggu hasil uji balistik yang rencananya akan dilakukan di Belanda dan amAustralia.
Tentu kita semua tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk uji balistik tersebut. Pihak Kepolisian terkesan melindungi Anggota anggotanya.
Lanjut daripada itu, kita juga berharap pemerikasaan terhadap saksi – saksi dari pihak mahasiswa dan masyarakat yang berada di TKP dapat segera diagendakan agar ada titik terang dari kasus ini.
Penegakan hukum dan keadilanlah yang diharapkan oleh kita semua, bukan sekedar sanksi kode etik internal institusi kepolisian. Publik tak ingin kasus ini bernasib sama dengan kasus – kasus lainya yang hilang ditelan bumi tanpa ada kepastian hukum.
Untuk keadilan Randi dan Muh. Yusuf Kardawi, mari kita kawal terus kinerja kepolisian dalam mengungkap kasus ini.
Penulis: Ramdhan Riski Pratama (Advokat).
Catatan: Isi tulisan ini merupakan tanggung jawab penuh penulis. Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap isi tulisan ini.