SUARASULTRA.COM | KONAWE – Sejumlah massa yang tergabung dalam Konsorsium Non-Governmental Organization (NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kabupaten Konawe menyambangi kantor Balai Wilayah Sungai Sulawesi Tenggara IV di Kendari, Rabu (25/08/21).
Gabungan Konsorsium NGO Konawe ( KNK) menggelar aksi unjuk rasa guna meminta penjelasan dari pihak Balai Sungai Wilayah IV terkait maraknya aktivitas penambangan pasir di Konawe yang diduga kuat tidak memiliki Izin resmi (Ilegal).
Bupati LIRA Konawe Satriadin saat orasi mengungkapkan bahwa di Kabupaten Konawe telah terjadi penambangan pasir secara besar besaran di bantaran sungai Konaweeha. Penambangan pasir yang diduga tak mengantongi izin tersebut terus terjadi di Kecamatan Uepai, Unaaha, Konawe, Pondidaha,Sampara, Anggalomoare, dan Bondoala.
Dikhawatirkan penambangan tersebut dapat mengakibatkan bencana alam nantinya di Konawe seperti bencana banjir.
” Tahun 2019 lalu Konawe dilanda bencana banjir. Diduga bencana itu disebabkan oleh maraknya aktivitas pengerukan atau penambangan pasir di sungai yang ada di Kabupaten Konawe secara Ilegal,” ungkap Satriadin.
Menurut Satriadin, beberapa penambang pasir mengaku telah memiliki izin. Namun, setelah dilakukan pengecekan ternyata yang dimiliki hanyalah rekomtek ( Surat Rekomendasi tehnik) dari BWS.
Diketahui bahwa surat rekomendasi tehnik tersebut tidak memiliki badan hukum secara legal. Artinya lanjut kata Satriadin, surat tersebut belum menguatkan atau bisa dijadikan dasar oleh para penambang pasir untuk melakukan aktivitas penambangan.
Dikatakan, rekomtek itu harusnya memiliki dasar untuk dikeluarkan, jangan kemudian pihak BWS Sultra IV Kendari hanya sekedar mengeluarkan rekomtek yang dimaksud yang kemudian disalahgunakan oleh oknum – oknum penambang pasir tersebut.
Olehnya itu, Bupati LIRA Konawe itu menantang pihak BWS Sultra untuk kemudian turun ke lokasi penambangan pasir bersama dengan Konsorsium NGO Konawe ( KNK ) guna melakukan pengecekan.
“Jika dimungkinkan, sekaligus menertibkan atau menutup (police line) tambang pasir Ilegal yang marak terjadi di Konawe,” tegasnya.
Jika tantangan itu tidak disahuti masih kata Satriadin, patut diduga BWS Sultra IV Kendari ada “main mata” atau kongkalikong dengan penambang pasir ilegal tersebut. Konsorsium itu juga meminta Kepala BWS mundur dari jabatannya karena dinilai tidak mampu mengembang amanah UU untuk menjaga sungai.
Sementara itu, Hendryawan dalam orasinya meminta BWS Sultra IV Kendari untuk segera turun memberhentikan seluruh penambang pasir yang tidak memiliki izin. Karena akibat penambangan itu, telah terjadi pencemaran lingkungan yang akan berdampak banjir.
Kemudian Hendryawan juga mempertegas bahwa sesuia UU No. 17 Tahun 2019 Pasal 70 dikatakan bagi orang yang melakukan pengrusakan sungai dapat dipidana. Sedangkan Pasal 32 itu mengatur tentang larangan pengelolaan di wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai).
“Oleh karena itu kami meminta pihak BWS Sultra IV Kendari agar segera menindak lanjuti aktivitas Ilegal tersebut dan segara melakukan penutupan,” pintanya.
Aksi unjuk rasa tersebut sempat diwarnai adu argumen dengan pihak BWS Sulawesi Tenggara IV Kendari saat massa Aksi digiring masuk ke ruang rapat BWS untuk berdialog. Namun, ketegangan itu tidak berlangsung lama.
Pihak BWS Wilayah IV pun langsung menerima tantangan massa aksi sebagai jawaban bahwa pihak BWS WIlayah IV tidak ada “Main Mata” atau kongkalikong dengan pihak penambang. Penyidik BWS dan Kabag Humas BWS pun berjanji akan turun lapangan pekan depan.
Dari pantauan awak media ini, aksi unjuk rasa tersebut berlangsung aman hingga selesai. Aksi tersebut dimulai dari perempatan MTQ, simpang DPRD Provinsi, kemudian berlanjut di kantor BWS Sultra IV Kendari.
Pada kesempatan itu, massa aksi juga menegaskan akan kembali lagi dengan jumlah massa aksi yang lebih besar bila mana tuntutan mereka hari ini tidak ditindaklanjuti.
Massa aksi pun kemudian melanjutkan rute menuju Polda Sultra untuk memasukan laporan secara resmi.
Laporan: Sukardi Muhtar