


SUARASULTRA.COM | KONAWE – Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Kabupaten Konawe, Risal Akman, S.H., M.H, menyampaikan pernyataan tegas terkait penggunaan atribut advokat secara tidak sah di wilayah hukumnya.
Pernyataan keras ini muncul sebagai respons atas dugaan praktik ilegal yang dilakukan oleh oknum tertentu di Kabupaten Konawe.
Yang lebih mengkhawatirkan, oknum tersebut secara terang-terangan menggunakan atribut advokat, bahkan mengunggah foto-foto dirinya mengenakan toga dan memamerkan kartu kuasa hukum di akun Facebook pribadinya.
“Saya tegaskan sekali lagi, paralegal tidak memiliki lisensi dan kewenangan sedikit pun untuk bertindak sebagai seorang advokat,” ujar Risal Akman dengan nada geram pada Jumat, 18 April 2025.
“Peran paralegal sangat jelas terbatas, yaitu membantu advokat yang memiliki izin resmi. Mereka tidak berhak bertindak atas nama klien, mewakili kepentingan hukum, maupun mendampingi dalam proses persidangan. Kewenangan tersebut adalah ranah eksklusif yang hanya dimiliki oleh advokat,” sambungnya dengan menekankan perbedaan mendasar antara paralegal dan advokat.
Risal Akman kemudian menjelaskan bahwa meskipun konsep paralegal dikenal di beberapa negara sebagai tenaga pendukung profesi hukum, kedudukan dan kewenangannya jelas berbeda dengan advokat. Pemerintah pun tidak pernah memberikan izin kepada paralegal untuk berpraktik hukum secara mandiri.
“Intinya, fungsi utama paralegal adalah memberikan bantuan kepada advokat atau lembaga bantuan hukum, dan itupun harus berada di bawah pengawasan ketat advokat yang memiliki izin resmi. Oleh karena itu, sangat tidak dapat dibenarkan tindakan paralegal yang menggunakan atribut advokat, karena mereka tidak memiliki lisensi yang sah untuk itu,” tegasnya.
Lebih lanjut, Risal menjelaskan bahwa toga merupakan atribut kehormatan profesi hukum yang hanya diperuntukkan bagi hakim, jaksa, dan advokat yang telah memiliki lisensi atau otoritas yang diakui secara sah oleh undang-undang untuk beracara di pengadilan.

Untuk menjadi seorang advokat, Risal menekankan bahwa prosesnya tidaklah mudah dan memerlukan pemenuhan berbagai persyaratan ketat.
Syarat-syarat umum dan khusus tersebut meliputi pendidikan tinggi hukum dengan gelar sarjana hukum, mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan oleh organisasi profesi, lulus ujian advokat, dan menjalani magang di kantor advokat minimal selama dua tahun.
Setelah semua tahapan tersebut dilalui, barulah seorang calon advokat dapat disumpah oleh dan di hadapan Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sehingga secara sah memiliki izin untuk beracara di pengadilan.
“Jika ada pihak yang dengan sengaja menjalankan profesi advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat padahal bukan, maka berdasarkan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, yang bersangkutan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak lima puluh juta rupiah,” pungkasnya dengan nada memperingatkan.
Diketahui, keresahan sejumlah advokat di Kabupaten Konawe mencapai puncaknya akibat tindakan seorang oknum berinisial HWB yang secara terbuka menggunakan atribut layaknya seorang advokat profesional.
Ironisnya, berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, HWB ternyata bukanlah seorang sarjana hukum.
Terungkap bahwa HWB adalah seorang mahasiswa aktif di Universitas Lakidende (Unilaki) Unaaha, yang terdaftar sejak 10 September 2023 dan mengambil jurusan Ilmu Hukum. Namun, status terakhir HWB di universitas tersebut adalah Mahasiswa Non-Aktif untuk semester genap tahun akademik 2024/2025.
Kasus ini jelas menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas penegakan hukum dan potensi penyesatan informasi di wilayah Kabupaten Konawe.
Laporan: Sukardi Muhtar





