Diduga Cemari Lingkungan dan Langgar UU Pesisir, GAPH Sultra Desak KLHK Cabut IUP PT TBS di Kabaena

  • Share
Ketgam: Massa GAPH-Sultra saat menggelar aksi di depan kantor KLHK RI, Kamis (10/7/2025).

Make Image responsive
Make Image responsive

Diduga Cemari Lingkungan dan Langgar UU Pesisir, GAPH Sultra Desak KLHK Cabut IUP PT TBS di Kabaena

SUARASULTRA.COM | BOMBANA – Persoalan tambang di Bumi Anoa kembali memicu gelombang protes. Kali ini, sorotan tajam tertuju pada aktivitas tambang nikel milik PT Tambang Bumi Sulawesi (PT TBS) yang beroperasi di Desa Pungkalaero, Kecamatan Kabaena Selatan, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.

Gerakan Aktivis Peduli Hukum Sulawesi Tenggara (GAPH-Sultra) menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia, Kamis (10/7/2025), menuntut pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT TBS yang diduga kuat menjadi penyebab pencemaran lingkungan di wilayah operasinya.

Ketua GAPH-Sultra, Tomi Darmawan, menegaskan bahwa pencemaran yang terjadi di sekitar tambang PT TBS diduga akibat kelalaian perusahaan dalam menjalankan kewajiban Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) secara menyeluruh.

“Akibatnya, wilayah sekitar tambang menjadi rawan banjir, tercemar lumpur merah, dan mengalami kerusakan ekosistem pesisir serta lahan pertanian masyarakat,” terangnya dalam orasi.

Tomi menyebut banjir yang merendam permukiman warga di Desa Pungkalaero bukan bencana alam semata, melainkan dampak langsung dari aktivitas pertambangan PT TBS yang tidak memenuhi standar lingkungan.

“Perusahaan tidak menyediakan kolam sedimentasi dan fasilitas penahan limbah sesuai ketentuan baku mutu lingkungan. Ini kelalaian serius,” tegasnya.

Lebih jauh, Tomi menjelaskan bahwa pencemaran tersebut telah berdampak luas—mulai dari rusaknya lahan pertanian, turunnya hasil laut, hingga terganggunya akses masyarakat terhadap air bersih.

Ia juga menyoroti aspek legalitas dengan mengacu pada Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang menurutnya menjadikan Pulau Kabaena tidak layak sebagai kawasan pertambangan karena luasnya yang hanya sekitar 837 km².

Baca Juga:  Pemilu 2024, Warga Binaan Rutan Unaaha Antusias Gunakan Hak Politiknya

“Negara harus hadir. Pemerintah pusat wajib menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat, bukan kepada korporasi tambang yang merusak,” seru Tomi.

Dalam aksinya, GAPH-Sultra juga menyerukan pembentukan tim investigasi independen lintas kementerian untuk menyelidiki dampak lingkungan yang ditimbulkan PT TBS dan menilai legalitas seluruh aktivitas tambang di Pulau Kabaena.

Sebagai bukti, GAPH-Sultra turut melampirkan dokumentasi visual berupa foto banjir, pencemaran wilayah pesisir, dan testimoni warga setempat dalam laporan resmi yang mereka serahkan ke KLHK.

Tuntutan GAPH-Sultra didasarkan pada sejumlah regulasi, antara lain:

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

Keputusan Menteri LH No. 113 Tahun 2003 tentang Pedoman Kolam Sedimentasi,

Permen LHK No. 5 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Air Limbah Kegiatan Pertambangan, serta

UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Tomi memastikan pihaknya akan terus mengawal kasus ini hingga ada tindakan tegas dari pemerintah. “Kami mendesak KLHK, Presiden RI, dan aparat penegak hukum untuk tidak tutup mata terhadap kerusakan lingkungan yang terus meluas di Pulau Kabaena,” pungkasnya.

Laporan: Redaksi

Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
banner 120x600
  • Share