



Besok, Senin 31 Oktober 2022 warga Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) di 167 desa akan melaksanakan pesta demokrasi yakni Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak.
Tentu, melalui Pilkades serentak ini, warga berharap mendapatkan pemimpin yang amanah. Pemimpin yang dapat melayani masyarakatnya dengan baik bukan pemimpin yang akan dilayani oleh masyarakat.
Peluang Petahana
Di atas kertas, petahana lebih berpeluang memenangkan pertarungan pada Pemilihan Kepala Desa serentak ini. Pasalnya, petahana lebih sering berinteraksi dengan warganya dibanding dengan calon penantangnya
Kemudian, calon petahana tentu sudah berbuat selama lima tahun. Banyak hal yang telah dilakukan dan itu menjadi penilaian tersendiri dari warga yang dia pimpin selama ini. Tentunya, analisa ini berlaku bagi calon petahana yang telah menjalankan amanah warganya dengan baik selama lima tahun terakhir.
Selain memiliki peluang terpilih kembali, calon petahana juga berpeluang besar untuk ditumbangkan oleh penantangnya. Kemungkinan itu terjadi ketika saat memimpin warganya selama lima tahun tidak mampu memberikan pelayanan terbaik. Banyak janji politik sebelumnya belum ditunaikan.
Kemudian, alasan kedua calon petahana bisa dikalahkan oleh sang penantang adalah tidak adanya pembangunan di desa. Sementara tiap tahun, pemerintah pusat menggelontorkan dana ratusan juta rupiah untuk membangun desa.
Alasan berikutnya yang dapat menjatuhkan calon petahana adalah, saat memimpin terkesan pilih kasih. Sehingga masyarakat desa mencoba mencari pemimpin yang baru. Meskipun orang yang akan dipilih sebagai pengganti belum tentu jauh lebih baik dari yang ada saat ini
Selanjutnya, kekuatan finansial yang sangat besar diyakini dapat merubah peta politik di desa. Karena politik uang masih menjadi solusi terakhir dalam setiap pertarungan politik Ungkapan yang menyebut ” ada uang ada suara” merupakan momok yang sangat menakutkan bagi calon dalam setiap pesta demokrasi.
Politik uang yang seakan sudah membudaya di setiap proses pemilihan sudah sangat memprihatikan. Banyak contoh praktik beli suara yang terjadi di depan mata. Bukan hanya di politik tetapi hampir semua yang berbau pemilihan harus mengandalkan kekuatan finansial (uang – red).
Sehingga, elektabilitas, integritas dan popularitas calon tidak lagi menjadi yang utama. Dalam setiap pertarungan, calon harus memiliki elektabilitas, popularitas, integritas dan “isi tas” jika ingin mendapatkan suara yang signifikan.
Sehingga, untuk mendapatkan pemimpin yang betul – betul hadir untuk mengabdikan diri sepenuhnya bagi kemaslahatan masyarakat itu sangat sulit. Karena, kost politik yang telah dikeluarkan saat pesta demokrasi berlangsung tentu akan dikembalikan lagi.
Dengan realita tersebut, masyarakat yang telah “menerima serangan fajar” juga tidak bisa lagi menuntut terlalu banyak. Pasalnya, orang yang dipilih menjadi sebagai pemimpin telah memenuhi permintaan mayoritas warga saat pesta demokrasi dilaksanakan.
Oleh karenanya, melalui momentum pilkades serentak ini, masyarakat sudah seharusnya sadar bahwa apa yang terjadi selama ini adalah sebuah kekeliruan dan itu harus segera diakhiri. Jangan biarkan kebiasaan yang keliru ini tetap tumbuh subur di tengah masyarakat kita.
Jadilah masyarakat yang cerdas dalam memilih pemimpin. Pilihlah pemimpin yang dianggap cerdas, jujur, adil dan bermartabat. Pemimpin yang selalu hadir ketika dibutuhkan oleh warganya. Bukan nanti ada maunya baru datang menyapa.
Penulis: Sukardi Muhtar





