Ketika UU Omnibus Law Menjadi Alat Politik, Senayan Berencana Satukan UU Parpol dan Pemilu

  • Share
Gedung DPR RI. Foto: Istimewa

Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive

SUARASULTRA.COM | JAKARTA – Komisi II DPR RI tengah memulai pembahasan paket rancangan undang-undang (RUU) yang mengatur sejumlah pemilihan umum, mulai dari pemilihan presiden (pilpres) hingga pemilihan kepala daerah (pilkada).

Langkah ini diambil sebagai respons terhadap dinamika politik yang berkembang dan kebutuhan untuk menyederhanakan regulasi pemilu.

Melalui RUU tersebut, DPR RI berencana menyatukan sejumlah undang-undang terkait pemilu menjadi satu melalui RUU Politik Omnibus Law atau RUU kodifikasi politik.

Istilah “Omnibus Law” sendiri masih dalam tahap pembahasan dan belum disepakati secara final. Namun, prinsip dasar dari rencana ini adalah untuk menyatukan berbagai undang-undang yang mengatur partai politik dan pemilu.

Saat ini, setidaknya ada tiga undang-undang yang diusulkan untuk disatukan, yaitu:

* UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
* UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada
* UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik

Namun, jumlah ini berpotensi bertambah karena fraksi-fraksi di DPR RI belum sepenuhnya menyepakati jumlah atau daftar undang-undang yang akan dikodifikasi.

Selain itu, RUU Politik ini juga belum secara resmi dibahas melalui naskah akademik atau Surat Presiden.

Usulan Legislator Golkar

Wacana paket RUU Politik Omnibus Law pertama kali dilontarkan oleh anggota Komisi II DPR RI sekaligus Wakil Ketua Baleg DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, pada akhir Oktober 2024.

Saat itu, Doli mengusulkan agar paket RUU Politik Omnibus Law dapat menyatukan delapan undang-undang. Selain undang-undang terkait pemilu dan partai politik, usulan tersebut juga mencakup UU MD3, UU DPRD, UU Pemerintah Desa, UU Pemerintah Daerah, serta UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.

Paket rancangan undang-undang ini, menurut Doli, merupakan jawaban atas sejumlah persoalan yang muncul selama pelaksanaan Pemilu 2024.

“Saya tadi mengusulkan ya sudah, kita harus mulai berpikir tentang membentuk undang-undang politik dengan metodologi omnibus law. Jadi karena itu saling terkait semua ya,” kata Doli di kompleks parlemen, Jakarta, (30/10/2024) lalu.

Belakangan, Doli menilai bahwa istilah “Omnibus Law” tidak menjadi keharusan. Sebagai gantinya, ia mengusulkan istilah lain, yaitu RUU Kodifikasi Politik. Dari semula berjumlah delapan undang-undang, kini fokus pada penyatuan tiga undang-undang utama.

Menurut Doli, usulan RUU Politik Omnibus Law didasarkan pada perintah Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2004 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJMP). Dalam RPJMP disebutkan bahwa rezim pemilu merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu, UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik harus menjadi satu kesatuan dan tidak lagi terpisah.

“Dengan adanya RPJMP itu saya kira udah jelas di situ, tiga UU itu dilaksanakan secara kodifikasi,” kata Doli di kompleks parlemen, Selasa (11/2/2025).

Usul Ambang Batas Pencalonan Presiden

Wakil Ketua Umum Partai Golkar tersebut menyatakan bahwa DPR RI semula akan mulai membahas RUU Politik pada 3 Maret mendatang. Namun, Komisi II telah memulai rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan mengundang pakar dan organisasi pemerhati pemilu untuk mendapatkan masukan.

RDPU perdana digelar pada Rabu (26/2) dengan mengundang ahli dari BRIN dan UI, serta perwakilan Perludem. Hasil rapat tersebut memunculkan usulan untuk mengatur ambang batas atas syarat pencalonan presiden, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas minimal 20 persen yang selama ini berlaku.

“Ada kecenderungan, batas atas itu pun perlu dipertimbangkan, tidak hanya batas bawah,” ujar Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, usai rapat di kompleks parlemen.

Politikus PDIP tersebut menilai bahwa ambang batas maksimal pencalonan presiden perlu dipertimbangkan untuk menghindari calon tunggal dalam pilpres setelah batas minimal dihapus. Ia menyoroti pilpres sebelumnya terkait upaya calon tunggal yang dibentuk secara tidak natural dan berdasarkan intervensi atau tekanan politik tertentu.

Bima menegaskan bahwa ia tidak mempermasalahkan koalisi besar partai dalam pencalonan pilpres, asalkan terbentuk secara organik atau berdasarkan visi yang sama. Namun, ia menyayangkan fakta bahwa koalisi besar selama ini seringkali dibentuk atas dasar keinginan untuk menjegal calon lain.

“Calon tunggal itu juga sangat mungkin selama itu organik loh ya. Ini yang terjadi fakta di lapangan tidak organik, terjadi konspiratif yang memperlemah tadi, memperlemah dari aspek nilai-nilai demokrasi,” kata Bima.

Sementara itu, dosen hukum pemilu UI, Titi Anggraini, mengusulkan agar ambang batas maksimal tidak hanya diberlakukan sebagai syarat pilpres, tetapi juga pilkada. Ia mengusulkan agar ambang batas maksimal berada di angka 40-50 persen dari gabungan kursi atau suara partai politik parlemen.

“Pemberlakuan ambang batas maksimal untuk koalisi pencalonan 40 atau 50 persen gabungan partai dari total jumlah peserta pemilu untuk mencegah calon tunggal hegemoni dominasi politik tertentu,” ucap Titi.

Selain ambang batas atas, beberapa usulan lainnya mencakup syarat calon legislatif (caleg) dan kepala daerah harus berpartai, moratorium atau penangguhan bantuan sosial (bansos) selama pemilu, hingga penghapusan Sentra Gakkumdu.

Target Rampung 2026

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, menyatakan bahwa pihaknya tidak ingin terburu-buru dalam membahas RUU tersebut, termasuk dalam menyiapkan naskah akademik. Saat ini, mereka ingin menjaring aspirasi dari kelompok masyarakat sipil dan para ahli sebelum resmi dibahas dengan pemerintah.

Penjaringan masukan dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang diperkirakan akan berlangsung selama enam bulan hingga satu tahun ke depan.

“Maka waktu dalam enam bulan sampai satu tahun ke depan ini, kita akan terus membuat panja untuk mendengarkan masukan-masukan. Kita belum akan mungkin melakukan sebuah keputusan. Keputusan itu baru bisa kita lakukan di 2026,” kata Dede di kompleks parlemen, Kamis (27/2/2025).

Namun, Dede menegaskan bahwa pihaknya menargetkan penyelesaian RUU Politik menjadi undang-undang pada 2026 mendatang.

“Mengapa? Karena tahapan pemilu akan dilaksanakan di 2027. Sehingga 2027 kita sudah berbicara dengan proses yang baru sesuai dengan orang-orang yang baru,” katanya.

Laporan: Sanjas

Editor: Sukardi Muhtar

Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
banner 120x600
  • Share