Satu Tahun Pemerintahan Prabowo: Fondasi Ekonomi Syariah Kuat, Tapi Implementasi Masih Tertatih

  • Share

Make Image responsive

Satu Tahun Pemerintahan Prabowo: Fondasi Ekonomi Syariah Kuat, Tapi Implementasi Masih Tertatih

SUARASULTRA.COM | JAKARTA – Evaluasi satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menunjukkan bahwa fondasi kebijakan ekonomi syariah Indonesia telah dibangun cukup kokoh secara konseptual, namun masih menghadapi tantangan serius dalam implementasinya.

Hal itu disampaikan oleh Dr. Handi Risza Idris, S.E., M.Ec., Wakil Rektor Universitas Paramadina sekaligus Peneliti Center for Sharia Economic Development (CSED) INDEF, dalam diskusi “Evaluasi Ekonomi Syariah di 1 Tahun Pemerintahan Prabowo”, di Jakarta, Rabu (15/10/2025).

Menurut Handi, arah kebijakan ekonomi syariah sudah jelas dan terintegrasi dalam RPJPN 2025–2045 serta RPJMN 2025–2029, termasuk dengan pembentukan dua lembaga strategis, yakni Kementerian Haji dan Umrah serta Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang kini bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

“Secara konseptual fondasinya kuat, tapi di lapangan belum tampak konsistensi implementasi,” ujar Handi.

Ia menyoroti bahwa program-program prioritas nasional, seperti Makanan Bergizi Gratis (MBG) dengan anggaran Rp335 triliun dan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP), belum sepenuhnya menerapkan skema halal atau sertifikasi halal. Padahal, kedua program tersebut seharusnya menjadi model penerapan rantai nilai halal (halal value chain) yang terintegrasi.

Handi menambahkan, untuk mengoptimalkan potensi industri halal global yang diperkirakan mencapai US$ 3,36 triliun pada 2028, Indonesia perlu mengambil langkah industrialisasi yang lebih agresif.

Ia merekomendasikan empat strategi utama:

Menetapkan industri halal sebagai program strategis nasional dengan peta jalan (roadmap) terpadu;

Mengembangkan Kawasan Industri Halal (KIH) secara terintegrasi;

Mewajibkan prinsip halal value chain dalam program nasional seperti MBG dan KDMP; serta

Mendorong omnibus law ekonomi syariah untuk menciptakan kepastian hukum dan sinkronisasi lintas kementerian/lembaga.

Baca Juga:  Audit Mandek, Kejari Konawe Terganjal Inspektorat Sultra dalam Kasus Korupsi Food Court Rp4,9 Miliar

“Tanpa regulasi payung yang kuat, kita sulit mencapai cita-cita menjadi pusat ekonomi syariah dunia,” tegasnya.

Perbankan Syariah Tumbuh, Tapi Market Share Masih Stagnan

Sementara itu, Prof. Nur Hidayah, Ph.D, Kepala CSED INDEF, menilai kinerja perbankan syariah selama satu tahun pemerintahan Prabowo menunjukkan capaian positif namun masih belum optimal.

Pertumbuhan pembiayaan syariah tercatat mencapai 8,13% (YoY) — lebih tinggi dibandingkan bank konvensional. Capaian ini didorong oleh sejumlah kebijakan strategis, antara lain:

Penempatan dana pemerintah Rp200 triliun di Himbara,

Pendirian Bank Syariah Nasional (BSN) sebagai second anchor, dan

Peluncuran Bullion Bank sebagai upaya memperkuat likuiditas industri.

“Kebijakan likuiditas ini berhasil menurunkan cost of fund dan memperluas pembiayaan sektor produktif, meski perlu pengawasan syariah yang ketat untuk mencegah risiko evergreening,” jelas Nur Hidayah.

Namun, di sisi lain, tantangan besar masih membayangi. Pangsa pasar (market share) perbankan syariah masih stagnan di 7,7%, sementara transformasi KNEKS menjadi Badan Ekonomi Syariah nasional belum terealisasi, dan koordinasi kelembagaan masih lemah.

Untuk tahun 2026, Nur Hidayah merekomendasikan:

Pembentukan badan tunggal penggerak ekonomi syariah;

Transparansi penyaluran dana Rp200 triliun;

Penguatan peran BSN dalam pembiayaan UMKM halal; serta

Inovasi produk ZISWAF (seperti Sukuk Ritel Inklusif Amanah dan Corporate Waqf Linked Deposit) guna menciptakan pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.

Fondasi Rumah Tangga Jadi Kunci Ekonomi Syariah

Sementara itu, Prof. Dr. Murniati Mukhlisin, M.Acc, Peneliti CSED INDEF, menegaskan bahwa pondasi utama ekonomi syariah sesungguhnya terletak pada kesejahteraan rumah tangga dan literasi keuangan syariah masyarakat.

Tingkat literasi keuangan syariah Indonesia yang masih rendah, yakni 43,42%, serta kesenjangan digital yang lebar menjadi hambatan utama dalam memperluas inklusi ekonomi syariah.

Baca Juga:  Sembilan Perwira Pertama Polres Konawe Naik Pangkat, Enam Naik AKP

“Masalahnya bukan hanya pada regulasi, tapi juga pada eksekusi. Fragmentasi kelembagaan antara KNEKS, BPJPH, dan kementerian daerah memicu tumpang tindih kebijakan dan implementasi yang tidak merata,” ujar Murniati.

Untuk memperkuat kontribusi ekosistem halal yang saat ini mencapai Rp9.827 triliun terhadap PDB nasional, ia menekankan perlunya langkah strategis seperti:

Integrasi tata kelola ekonomi syariah,

Pengembangan National Halal Data Dashboard, serta

Sinergi pembiayaan yang tepat sasaran bagi UMKM dan rumah tangga.

“Tujuan akhirnya bukan sekadar pertumbuhan angka, tetapi kesejahteraan masyarakat yang adil, inklusif, dan berkelanjutan,” tutupnya.

Laporan: Redaksi

banner 120x600
  • Share
error: Content is protected !!