Polemik Tenun Tabere Siwole Konawe: Dugaan Monopoli, Konflik Kepentingan, dan Hak Cipta

  • Share
Tie Saranani

Make Image responsive
Make Image responsive

Polemik Tenun Tabere Siwole Konawe: Dugaan Monopoli, Konflik Kepentingan, dan Hak Cipta

SUARASULTRA.COM | KONAWE – Polemik tenun Tabere Siwole di Kabupaten Konawe tak lagi sekadar soal motif kain tradisional. Isu ini berkembang menjadi pertanyaan mendasar tentang siapa yang berhak memproduksi, memasarkan, dan menikmati manfaat ekonomi dari warisan budaya tersebut.

Aktivis perempuan Tie Saranani angkat bicara, menyoroti dugaan praktik monopoli oleh Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Konawe terhadap kain tenun bermotif Tabere Siwole, yang disebut-sebut merupakan desain karya Bupati Konawe, Yusran Akbar.

Isu ini mencuat setelah sejumlah media memberitakan keluhan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang mengaku kesulitan menjual kain tenun Tabere Siwole.

Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa motif tenun itu hanya boleh diproduksi dan dipasarkan oleh Dekranasda Konawe, sehingga menutup ruang bagi penenun tradisional dan pelaku UMKM lainnya.

Tie Saranani mengakui, secara kelembagaan Dekranasda memang memiliki mandat untuk membina dan memasarkan produk kerajinan daerah. Fungsi tersebut meliputi pendampingan, penguatan produksi, hingga membuka akses pasar bagi UMKM.

“Dekranasda memang membawahi berbagai produk kerajinan daerah untuk dibina dan dibesarkan, termasuk dalam hal pemasaran. Jika benar Dekranasda Konawe yang memproduksi dan menjual kain dengan desain Bupati Konawe, bisa jadi lembaga tersebut juga yang mendanai produksinya,” ujar Tie.

Namun, menurut Tie, persoalan menjadi serius ketika Dekranasda diduga hanya memproduksi dan memasarkan satu motif tertentu, terlebih jika motif tersebut merupakan karya personal kepala daerah. Pada titik inilah, kata dia, batas antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi menjadi kabur.

“Yang perlu dicek adalah apakah desain Tabere Siwole ini sudah terdaftar secara resmi di Kementerian Hukum dan HAM sebagai hak cipta atas nama pribadi, dalam hal ini Bupati Konawe,” tegasnya.

Baca Juga:  Hadiri Giat Utsawa Dharma Gita I, Bupati Koltim Tekankan Toleransi Antar Umat Beragama

Tie menekankan, apabila desain tersebut tercatat sebagai hak cipta pribadi Yusran Akbar, sementara proses produksinya justru dibiayai oleh Dekranasda, maka praktik tersebut patut dipersoalkan.

Penggunaan anggaran dan fasilitas lembaga daerah untuk menopang karya yang dimiliki secara personal berpotensi melanggar prinsip tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas dari konflik kepentingan.

Ia juga mengingatkan bahwa klaim Tabere Siwole sebagai “milik daerah” tidak serta-merta dapat dijadikan dasar pembenaran atas monopoli produksi dan penjualan.

Status hukum desain tersebut harus jelas dan transparan. Tanpa kejelasan, Dekranasda berisiko terseret dalam konflik kepentingan yang dapat berujung pada persoalan hukum.

Informasi yang dihimpun dari media siber Lajur.co menyebutkan, tenun Tabere Siwole memiliki nilai simbolik karena motifnya dirancang langsung oleh Bupati Konawe dan diperkenalkan secara resmi pada perayaan Hari Ulang Tahun Sulawesi Tenggara di Kolaka beberapa waktu lalu.

Nilai simbolik inilah yang kini justru berubah menjadi sumber kontroversi.
Hingga berita ini diturunkan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Konawe belum memberikan penjelasan terkait sumber pendanaan produksi tenun Tabere Siwole yang dipromosikan oleh Dekranasda.

Sikap diam instansi teknis tersebut semakin memperpanjang tanda tanya publik: siapa yang diuntungkan, dan siapa yang tersisih, dari selembar kain bernama Tabere Siwole. (**)

Editor: Sukardi Muhtar

Make Image responsive
Make Image responsive
banner 120x600
  • Share
error: Content is protected !!