Oleh: Zul Juliska Praja, Wiraswasta
SUARASULTRA.COM – Suku, Agama, Ras atau biasa yang dikenal SARA adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan.
Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tindakan SARA. Tindakan ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia.
Potensi terjadinya money politik dalam pilkada serentak yang akan di gelar 27 Juni 2018 mendatang sangat besar. Sebab, masih saja terdapat “mesin” kampanye dalam hal ini Team Sukses yang masih sangat kaku dalam melakukan pendekatan dan sosialisasi terhadap wajib pilih dalam hal ini masyarakat, terkesan menilai lawan dalam konteks subyektif tidak objektif.
Artinya lebih memandang segala sesuatunya secara suka atau tidak suka terhadap kandidat lainnya, bukan kemudian menumbuhkan rasa Simpatik namun yang terkesan adalah Fanitisme yaitu paham atau perilaku yang menunjukkan ketertarikan terhadap sesuatu secara berlebihan.
Menurut Winston Churchill, “Seseorang fanatisme tidak akan bisa mengubah pola pikir dan tidak akan mengubah haluannya”. Bisa dikatakan seseorang yang fanatik memiliki standar yang ketat dalam pola pikirnya dan cenderung tidak mau mendengarkan opini maupun ide yang dianggapnya bertentangan.
Ditambah lagi kurangnya sosialisasi yang dilakukan penyelenggara maupun figur kandidat para calon Gubernur dan wakil Gubernur serta Bupati dan Wakil Bupati, yang semestinya harus seiring sejalan dalam memelihara dan menjaga proses kampanye sehat.
Dari pengamatan penulis, tahapan demi tahapan yang telah dilakukan oleh penyelenggara yaitu Komisi Pemilihan Umum dalam menyambut pesta demokrasi serentak mendatang memberikan berbagai tantangan tersendiri bagi setiap stake holder.
Bagaimana tidak, saling mencaci maki antar pendukung yang marak terjadi di media sosial, black campaign, hingga melancarkan isu SARA yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab bahkan personel keamanan harus bekerja ekstra untuk menjaga keamanan, ketertiban, dan kondusifitas dalam menjaga setiap momentum menjelang pemilihan kepala daerah.
Sebagai masyarakat yang menginginkan lancarnya Pilkada Serentak 27 Juni 2018 sebagai wujud Kedaulatan Rakyat, publik menaruh harapan besar agar pelaksanaan pilkada serentak akan membawa perbaikan dalam praktik politik pemerintahan ditingkat lokal. Soal siapa yang terpilih, baik atau buruk, itu telah menjadi pilihan masyarakat dalam memilih.
Namun, satu hal yang pasti menjaga kerukunan, persatuan dan kesatuan adalah hal mutlak yang harus dilakukan setiap insan dalam menyongsong pilkada serentak yang tidak lama lagi akan dihelat. Sehingga untuk mengantisipasi dan mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan, maraknya isu SARA yang memecah belah persatuan, fanatisme berlebihan yang meretakan persaudaraan maka diperlukan sebuah solusi tepat untuk mengatasi dan mengantisipasi terjadinya gesekan antar anak bangsa.
Sebelum menentukan langkah apa yang akan diambil, perlu terlebih dahulu kita semua ketahui hal apa yang menjadi dasar yang mengakibatkan terjadinya isu SARA dalam pilkada. Penulis akan memaparkan beberapa penyebab terjadinya isu sara dalam perhelatan pemilihan kepala daerah.
– Kemunculan Isu SARA dalam Pilkada
Kemunculan isu SARA dalam pemilihan kepala daerah dapat disebabkan berbagai faktor, diantaranya adanya kesenjangan ekonomi masyarakat yang dimanfaatkan sebagai sarana yang mudah dalam penyatuan masyarakat yang tersisih secara ekonomi.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan Devie Rahmawati selaku pengamat sosial, bahwa persoalan kesenjangan ekonomi dan yang terbungkus dalam SARA itu kemudian ditangkap dan diolah oleh para elit politik untuk memenangkan pemilihan kepala daerah (Sumber : Tribunnews.com).
Meskipun menurut pengamat politik yang juga direktur SMRC Djayadi Hanan meyakini potensi isu SARA atau politik identitas di Pilkada serentak 2018 minim terjadi (Sumber : Kompas.com) tetapi bukan tidak mungkin, resiko sekecil apapun tetap berpeluang terjadi.
Bahkan menurut pengamat politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti mengatakan bahwa politik uang tidak lebih berbahaya daripada isu SARA dalam pemilu sebab isu SARA memiliki efek panjang yang menimbulkan perbedaan (Sumber: Detik.com). Dari pernyataan beliau, dapat kita nilai bahwa lebih baik mengantisipasi sebelum terjadinya hal yang tidak diinginkan oleh kita semua.
– Solusi atas Isu SARA
Penegakan hukum yang lemah terhadap pelanggar isu SARA semakin membuat maraknya isu SARA yang proses penegakan hukum yang lebih cepat terkait SARA dinilai sebagai wujud komitmen semua pihak dan akan terjadi saling kontrol antar pasangan calon maupun pendukung. Selain itu, memberikan pendidikan politik oleh semua pihak dengan mengedapankan adu gagasan, konsep perbaikan dan kemajuan daerah.
Memberikan sosialisasi yang gencar tentang aturan pilkada agar dimasa mendatang sehingga dapat secara bersama-sama mengawasi pelaksanan pilkada diyakini mampu dalam meminimalisir terjadinya politik identitas atau isu SARA dalam perhelatan pilkada.
Mengedepankan toleransi juga dapat dilakukan untuk mengatasi isu SARA. Toleransi ditekankan saat terjadinya konflik diantara warga dengan menunjuk pihak yang bertugas sebagai mediasi antar kedua belah pihak yang bertikai.
Sebagai manusia yang beradab, sudah seharusnya dapat bertindak berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku salah satunya bijak dalam menggunakan media sosial atau berbagai media online yang ada, sebab media sosial tidak jarang menjadi jembatan dalam menyebarkan isu SARA.
Dengan demikian, penulis berkesimpulan bahwa sebagai sesama warga negara sudah menjadi kewajiban kita untuk melindungi sesama dan tidak ikut dalam menyerang dengan isu SARA serta tidak terprovokasi di dalamnya demi kepentingan dan kebaikan bangsa dan negara.
Sehingga hal tersebut menjadi tanggung jawab kita semua dalam mencapai pemilihan kepala daerah secara serentak yang akan di gelar sebentar lagi.***