Di Balik Gemerlap Industri Nikel: Nestapa Warga Kolaka Didera Dampak Tambang PT KNI dan IPIP

  • Share
Kondisi Desa Hakatutobu di saat musim hujan tiba

Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive

SUARASULTRA.COM | KOLAKA – Di balik hingar bingar pembangunan fasilitas pengolahan bijih nikel berteknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) milik PT Kolaka Nickel Indonesia (PT KNI) yang membentang di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, tersembunyi bara keluh kesah yang membakar kehidupan masyarakat lokal.

Lebih dari sekadar narasi investasi dan pertumbuhan ekonomi, terhampar kisah pilu tentang hilangnya sumber penghidupan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Mata Mulyadi (45), seorang nelayan suku Bajau di Desa Hakatutobu, nanar menatap hamparan laut yang dahulunya membiru jernih, kini berubah menjadi cokelat pekat yang mengkhawatirkan.

“Sekarang, untuk mencari ikan saja kami harus berlayar hingga tiga mil ke tengah laut, itupun harus mengeluarkan biaya tambahan sekitar Rp150 ribu untuk bahan bakar. Dahulu, rezeki laut seolah terhampar di bawah kolong rumah kami,” ungkapnya dengan nada getir.

Kenangan bermain bola di hamparan pasir di bawah rumah panggung kini tinggal kenangan. Setiap kali hujan mengguyur deras, lumpur sedimentasi berwarna merah pekat meluber hingga radius satu kilometer dari garis pantai, tanpa ampun menutupi seluruh pesisir desa.

Penderitaan serupa menghimpit warga Desa Dawi-Dawi, sebuah perkampungan nelayan yang kini setiap pagi harus bergumul dengan serangan debu merah yang diduga kuat berasal dari aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan area pertambangan nikel yang terafiliasi dengan perusahaan pelat merah, PT Aneka Tambang Tbk (Antam).

Sudirman (41), seorang nelayan Bajau lainnya, terpaksa menanggung lilitan utang kepada pengepul ikan hanya demi bisa melaut dan menafkahi keluarganya.

“Aduh, berat sekali sekarang. Sungguh berat,” lirihnya dengan nada putus asa.

Derita tak hanya merundung para nelayan. Para petani di Desa Lamedai pun merasakan getirnya dampak industrialisasi ini.

Pada Juli 2023, banjir bandang berwarna merah kecokelatan memorak-porandakan sekitar 500 hektare lahan persawahan mereka. Kuat dugaan, bencana ini disebabkan oleh limpasan air bercampur nikel dari pembukaan kawasan industri milik PT Indonesia Pomalaa Industry Park (IPIP).

Sejak musibah itu, harapan panen raya sirna. Padi tumbuh hampa, saluran irigasi tercemar material tambang, dan Sungai Oko-Oko, yang dulunya menjadi urat nadi sumber air minum masyarakat, kini tak lagi layak untuk dikonsumsi.

Ironisnya, mayoritas saham IPIP, mencapai 70 persen dikuasai oleh Huaxing Nickel, yang merupakan anak perusahaan dari raksasa pertambangan asal Tiongkok, Zhejiang Huayou Cobalt Co., Ltd.

Hasil olahan nikel dari bumi Kolaka ini kelak akan menjadi komponen krusial dalam baterai kendaraan listrik dan berbagai perangkat elektronik global.
Proyek ambisius ini menelan lahan seluas 11.808 hektare, mencakup kawasan hutan, cagar alam, area tambak, perkebunan, persawahan, hingga wilayah perairan laut.

Mirisnya, tak sedikit lahan yang masih berstatus sengketa, termasuk tanah negara dan kepemilikan warga setempat.
Namun, angin perubahan berpihak pada korporasi.

Pada tahun 2024, melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 12 Tahun 2024, IPIP secara resmi ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).

Keputusan ini seolah melegitimasi segala bentuk percepatan pembangunan, kemudahan perizinan, hingga potensi pelibatan aparat keamanan, yang justru berpotensi memperuncing konflik di lapangan.Tak ayal, konflik agraria pun tak terhindarkan.

Beberapa kali bentrokan antara warga yang mempertahankan hak atas tanahnya dan pihak perusahaan tercatat dalam sejumlah insiden. Tragisnya, baru-baru ini, dua kecelakaan kerja terjadi secara beruntun di area operasional PT IPIP, merenggut nyawa para pekerja.

Kilauan industri nikel di Kolaka memang menjanjikan gemerlap di satu sisi, namun di sisi lain, ia meninggalkan luka menganga dan duka mendalam bagi masyarakat yang telah lama menggantungkan hidup pada kekayaan laut dan kesuburan tanah mereka.

Demi ambisi energi masa depan, mereka yang seharusnya menjadi tuan di tanahnya sendiri justru terpinggirkan dan kehilangan harapan.

Laporan: Redaksi

Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
Make Image responsive
banner 120x600
  • Share